RELIGIUS SPIRITUALIS
“Agama pada prinsipnya, bisa tampil sebagai pencerah akal sehat dan budi pekerti semua manusia, tanpa kecuali dan yang terpenting menjadi ajaran yang tak disertai dengan kecurigaan untuk kepentingan kelompok tertentu saja”.
Oleh : IBG Dharma Putra
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Religius dapat diartikan sebagai gagasan atau informasi keagamaan, sedangkan spiritualis merupakan segala kondisi pikiran manusia yang berkaitan dengan peran jiwa sebagai esensi bagi kehidupan. Keduanya berbeda, karena religius merupakan aktivitas doktrinal untuk memperkenalkan setiap individu pada ajaran, ritual dan ritus keagamaan, sedangkan spiritualitas adalah entitas yang ada dalam diri individu, yang berkaitan dengan pengenalan diri dengan Tuhan, dan eksistensi diri sebagai bagian dari ekspresi. Secara mudah dapat dikatakan bahwa religius berupa doktrin keagamaan sedang spiritual adalah batin ketuhanan. Dengan demikian keduanya selayaknya saling melengkapi untuk menjadi lebih benar serta lebih baik. Penyatuan kedua pengertian itu, saya istilahkan sebagai religius spiritualis, beragama yang sesuai dengan ajaran ketuhanannya.
Menulis tentang religius spiritualis tak hendak melawan kaidah masyarakat bahwa memeluk agama adalah bertuhan dan hanya mencoba memasuki kuadrannya secara detail. Dari sisi religius spirutual berarti ada golongan religius spiritual, religius tidak spiritual, tidak religius spiritual dan tidak religius tak spiritual. Secara sederhana, keempatnya akan terlihat sebagai adanya golongan yang memaknai sekaligus menjalankan doktrinal agama sesuai tarikan nafas ketuhanan dan ada yang tidak seperti itu, bahkan ada yang tidak beragama.
Golongan doktrinal tak disertai tarikan nafas ketuhanan, akan cendrung berpikir, bersikap dan bertindak fundamental hitam putih, berani dan ekslusive sehingga tampak unik bahkan ikonik merujuk kesebuah era tertentu. Mempunyai kecendrungan radikal, melihat pandangan lain sebagai kesalahan sehingga cendrung menghakimi, membunuh karakter bahkan tak ragu melakukan persekusi. Golongan doktrinal tanpa nafas ketuhanan, cendrung membuat agama tampak seperti kelompok kepentingan dan jauh dari fungsi agama yang paling hakiki sebagai rahmat kehidupan, yang diciptakan untuk seluruh umat manusia, bahkan untuk semua makhluk.
Oleh golongan doktrinal tak senafas dengan sentuhan ketuhanan, agama menjadi tampak kejam seolah tak tersentuh kasih sayang. Tak demikian halnya jika posisi doktrinal senafas dengan ajaran ketuhanannya. Pada posisi ini, agama akan ramah, adil, penuh kasih serta sangat mencerahkan. Agama mengatur untuk saling melengkapi, dua buah aspek miliknya, yaitu aspek spiritual dan sosial budaya.
Aspek spiritualitas, wajib dipegang oleh pemeluknya dan tidak perlu diperdebatkan antar agama sedangkan aspek sosial budaya, dibiarkan manusiawi sehingga dan bisa dikerja samakan diantara sesama manusia, tanpa harus dibeda bedakan agamanya. Aspek sosial budaya tak diaksentuasi keagamaan, dipelihara sebagai aturan prilaku serta adab sehingga menjadi pemersatu umat manusia. Agama dibedakan pada spiritualitasnya saja, tidak diperbesarkan dengan penambahan beda pada aspek sosial budaya. Ada bagian agama yang bisa diterima secara universal oleh semua manusia.
Spiritualisme sesuai dengan tulisannya, terdiri dari SPI dan ritual, sehingga selayaknya hanya berisi SPI ( sistem pengendalian Internal ) dan ritual saja. SPI adalah prinsip pokok yang wajib dipercaya serta diyakini kebenarannya, oleh setiap insan beragama. SPI disandarkan pada kitab suci, merupakan akidah agama. Ritual merupakan rangkaian kegiatan berupa gerakan, nyanyian, doa, dan bacaan, menggunakan perlengkapan, baik dilakukan secara sendirian maupun bersama sama, dipimpin oleh seseorang. Diluar prinsip pokok ( SPI ) dan rangkaian kegiatan ( ritual ) itu, selayaknya dapat dikatagorikan sebagai aspek sosial budaya, yang dapat disesuaikan dengan situasi terkini dengan tujuan akhir harmonisnya hubungan kemanusiaan. Aspek sosial budaya wajib diupayakan sebaik baiknya, asalkan tidak melawan kebenaran ( akidah atau SPI ).
Tanpa pemberian ciri ( kabelisasi ) keagamaan pada aspek sosial budaya, akan membuatnya kembali ke tempat yang sebenarnya sebagai agama bagi semua manusia dan tidak akan pernah disikapi sebagai kelompok ataupun kepentingan semata. Keluhuran agama tidak layak dilunturkan dengan mengkerdilkannya menjadi kelompok kepentingan, karena agama bukan kelompok dan ajaran agama tak punya konflik kepentingan. Agama pada prinsipnya, bisa tampil sebagai pencerah akal sehat dan budi pekerti semua manusia, tanpa kecuali dan yang terpenting menjadi ajaran yang tak disertai dengan kecurigaan untuk kepentingan kelompok tertentu saja.
Pemberian aksentuasi di aspek sosial budaya, sesungguhnya identik dengan silent radikalism sekaligus kegenitan religius serta digolongkan sebagai fenomena toxic religi, agama yang meracuni. Sifatnya cuma fanatisme ikut ikutan saja. Itulah dunia, jika yang satu mulai menarik bandul kearahnya maka yang lainpun secara spontan akan ikut menarik bandul kearahnya masing masing, dengan harapan stabil equilibrium tetap berada di tengah tengah. Tarik menarik bandul tersebut, menjadi tampak seru serta sangat dramatis karena berani mengatas namakan Tuhan. Mungkin inilah salah satu kelicuan beragama yang paling absurd. Setelah membaca ajarannya, merasa paling paham, bersikap sebagai juru bicara tunggal dari Tuhan dan bahkan tanpa disadari, merasa berhak menentukan salah benar secara mutlak, seolah telah menjelma menjadi Tuhan itu sendiri.
Karenanya, beragamalah secara pas, tidak kurang tetapi jangan berlebihan, menjadi manusia religius spiritual yang menghargai setiap proses yang terjadi dalam hidup serta kehidupan. Bukankah semua yang terjadi adalah takdir dariNya.
Banjarmasin
14112022