RENUNGAN PANDEMI (SERI OPINI IBG DHARMA PUTRA)

RENUNGAN PANDEMI

“Pada prinsipnya pandemi disebabkan karena disharmoni, karena pandemi itu ditentukan oleh dua perilaku kunci, yaitu perilaku virus dan perilaku manusianya. Pada pandemi, abainya manusia dalam menjaga harmoni kehidupan, membuat virus merajalela”.
(Oleh : IBG Dharma Putra)

SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Pandemi ini, sudah berlangsung sangat lama, kebiasaan telah terhempas bahkan terampas dan wajib segera diganti dengan budaya baru yang belum sepenuhnya dipahami. Manusia tanpa kecuali, dipaksa berkontemplasi sesuai dengan sejarah hidupnya masing masing dan kebisingan perdebatan tak kunjung berhenti.

Cara berpikir paradoksal, hanya hitam putih, mengemuka, yang tidak perlu disandingkan, tetap diperbandingkan dan masyarakat umum ternganga diam didalam kebinggungan serta tak mampu berkata kata sekaligus tak mampu berbuat apa apa.

Upaya penangulangan penyakit menjadi mati dan kehilangan rohnya yang hakiki kerena tak berisikan pemberdayaan masyarakat. Publik menjadi tidak berdaya didalam kepanikannya, sementara dilain sisi, pandemi mulai terkendali oleh perilaku virus yang dengan sangat bebas leluasa, bermutasi dan menjadi makin ganas dalam menginfeksi.

Dalam pemahaman dan asumsi seperti itulah renungan pandemi ini terjadi, secara spontan tetapi dengan sengaja ditulis, sebagai bahan pengingat diri, bahwa manusia tercipta paling unggul diantara ciptaan Tuhan yang lain, dan manusia ditakdirkan mempunyai akal untuk menuntaskan segala masalah yang dialami.

Renungan ini, membawa pada sebuah lintasan pikiran,bahwa apapun kondisi pandemi terkini, sebaiknya disikapi dengan penuh ketenangan disertai mawas diri, dengan tidak lupa berdoa bagi keselamatan kemanusiaan dan dengan bekerja dengan dipenuhi kecerdasan.

Prediksi penularan penyakit yang sangat liar, sebagai akibat kelemahan masa lalu disertai beban kerja yang ditimbulkan, sudah sangat terlambat untuk disesali. Antisipasi yang telah disusun mengunakan data tak kredibel hingga menghasilkan upaya tidak berdampak banyak bagi pengurangan penularan, tak terlalu perlu dibahas lagi.

Antisipasi dengan kebijakan yang dihasilkan dari data tidak bermutu, menjadikan kerja hari ini, seperti sedang mengatasi hujan teramat deras dengan berbekal payung robek di sana sini. Memakai payung robek, membuat tubuh pemakai payung basah kuyup. Di alam nyata, keadaan tersebut dapat berarti sebuah upaya penanggulangan yang berisiko sekaligus amat berbahaya bagi pekerja di tempat pelayanan dan penanggulangan.

Apapun itu,marilah dihentikan saling menuding disertai caci maki itu, dan mulailah mengambil hikmah agar kelengahan maupun kelemahan yang serupa, tidak akan pernah terulang lagi pada masa pandemi ini, bahkan disepanjang kehidupan nanti. Semuanya berwajiban untuk kapok dengan kondisi pandemi.

Jangan terpaku pada kesedihan yang terjadi akibat robekan pandemi didalam kehidupan pribadi. Simpan air mata dan jadikan penyejuk bumi. Sebaiknya diam dan jangan bicara lagi dan biarkan kalimat hari ini, menjadi rangkaian kata yang mengalir sangat deras dalam cerita ke anak cucumu nanti. Berbagi suka dan duka ke mereka adalah bentuk kasih dan sayangmu

Sunyi memang sedang diperlukan oleh bumi, agar bisa dipunyai cukup ketenangan sebagai waktu perenungan bagi manusia penghuninya serta diharapkan mampu memberi kesadaran bagi manusia penghuninya akan keberadaan dirinya sekaligus mampu menimbulkan sebuah kesadaran akan perilakunya yang sudah tidak peduli terhadap keaneka ragaman hayati.

Kepedulian terhadap keaneka ragaman hayati dapat dikatakan sebagai sebuah upaya untuk menyeimbangkan rasa kasih sayang dengan keadilan. Dengan begitu tak terjadi kezaliman dalam pemberian kasih sayang dan tak terjadi ketakutan melihat penegakan keadilan.

Pada prinsipnya, pandemi disebabkan karena disharmoni itu, karena pandemi itu, ditentukan oleh dua perilaku kunci yaitu perilaku virus dan perilaku manusianya. Pada pandemi, abainya manusia dalam menjaga harmoni kehidupan, membuat virus merajalela.

Kemenangan virus, terus berkelanjutan karena manusia tidak kunjung sadar akan disharmoni yang terjadi. Seharusnya manusia mulai sadar dan bekerja sama, tak hanya dengan sesama manusia, bahkan juga dengan sesama ciptaan Tuhan. Manusia telah abai,menjaga protokoler perlawanan terhadap virus, dengan berbagai alasan pembenar.

Khilaf yang bermula dari kerakusan tak terperi disertai birahi kekuasaan tak terkendali, tanpa henti telah mengubah wajah bumi sesuka hati, dengan hanya bersama kerabat dan sahabat sehati, sampai lupa diri, seolah manusia lain, sudah tidak ada lagi. Manusia itu, telah saling ditunjuk tak peduli kompetensi dan melupakan hukum alam yang paling hakiki, bahwa bumi memerlukan kolaborasi bukan kompetisi.

Naluri kekuasaan seperti meminum air garam yang tak pernah berhenti menambah hausmu, hingga wajib mulai terhenti dalam jalinan kata bak puisi yang tidak mengajari. Cara halus itu wajib ditempuh karena mengingatkan sebuah daulat sangat sering, merupakan upaya riskan dan berisiko kematian.

Daulat kekuasaan, harus disentuh halus tepat dihatinya, dengan sebuah elusan mesra setara hembusan semilir angin malam. Kata bak puisi yang tak melukai wajib dipakai menyentuh hati yang sudah tak mau sakit lagi, hati yang mati suri dalam jilatan liur racun para peminat kursi.

Rasanya sudah cukuplah pandemi ini memberi mimpi buruk di kehidupan kini dan nanti, dan sudah saatnya pula, akal sehat dibangunkan untuk membenahi diri sejak awal yang terdini. Susun strategi dengan pasti dan terkomunikasi hingga dipenuhi aspirasi dan partisipasi.

Marilah berbenah diri, mengurangi yang akan mati lagi akibat pandemi. Manfaatkan diri bagi bumi serta kemanusiaan yang hakiki, temukan masalah untuk dibenahi karena tidak ada kata terlambat untuk sadar diri. Revolusi pandemi bisa berarti berani mengkoreksi sesuai dengan tuntutan nurani.

Tidak ada lagi kata tersembunyi dengan wajah yang terhiasi bedak tebal citra diri, selain kerja yang murni bagi pandemi. Tidak perlu bermalu diri untuk mengakui karena pandemi ini sudah terlihat terang sekali seperti suasana di siang hari, bahkan tidak diperlukan para ahli untuk bisa diketahui.

Dan jika nanti pandemi telah berhenti, tetaplah menjaga hati dan nurani, untuk saling mengisi, berkolaborasi dalam harmoni keaneka ragam hayati. Biarkan bumi berwarna alami buatan Sang Illahi dan jangan dipaksakan bernuansa seragam pada selera yang sesuka hati.

Begitulah…

Banjarmasin
25072021

Terbaru

spot_img

Related Stories

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini