SAAT PEJABAT MEMILIH MENGHINA DARIPADA BERDEBAT (CATATAN KRITIS ROBENSJAH SJACHRAN)

SAAT PEJABAT MEMILIH MENGHINA DARIPADA BERDEBAT

“Dari ‘Kau yang Gelap’ hingga ‘Otak Kampungan’: Saat Pejabat Memilih Menghina daripada Berdebat”

“MENDIAMKAN KESALAHAN ADALAH KEJAHATAN” –

Oleh: Robensjah Sjachran

SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Harian Kompas 21 Maret 2025 menulis dengan judul “RUU TNI Disahkan, Suara Publik Diabaikan”, protes yang dilayangkan publik tidak menyurutkan DPR untuk mengesahkan revisi UU TNI menjadi undang-undang. Walau terasa pahit dan menyisakan demonstrasi di mana-mana, namun demikianlah aturan mainnya, rakyat sudah melakukan “kontrak sosial”. Saya teringat dengan gagasan filsuf politik Thomas Hobbes yang dikemukakan pada abad 17 (Leviathan 1651). Digambarkannya keadaan alamiah (state of nature) sebelum adanya pemerintahan dan hukum di mana manusia hidup dalam keadaan anarki, tanpa ada aturan, sementara manusia secara alami bersifat egois dan berusaha mempertahankan dirinya sendiri, yang pada akhirnya berujung pada “bellum omnium contra omnes”, perang semua melawan semua; dan dalam situasi demikian, kehidupan manusia akan menjadi “solitary, poor, nasty, brutish, and short”, sendirian, miskin, menjijikkan, kasar, dan pendek.

Thomas Hobbes mengatakan: untuk keluar dari keadaan alamiah yang kacau, manusia harus membuat kontrak sosial. Dalam kontrak ini, mereka menyerahkan sebagian kebebasan individu mereka kepada otoritas tertinggi yang bertugas menjaga ketertiban. Otoritas ini bisa berupa raja atau pemerintahan absolut, yang memiliki kekuasaan mutlak untuk menetapkan hukum. Menurut Hobbes, tanpa pemerintahan yang kuat, tidak mungkin ada kedamaian atau keadilan, karena hukum hanya ada jika ada kekuasaan yang dapat menegakkannya. Akan tetapi Thomas Hobbes juga yang mengatakan bahwa negara yang berdaulat haruslah pemimpin yang memiliki kekuasaan absolut, baik dalam aspek politik maupun hukum. Negara tidak bisa ditentang, karena pemberontakan akan mengembalikan masyarakat ke keadaan alamiah yang brutal. Namun, kini, kita hidup di era Demokrasi Konstitusional Modern, di era Negara Hukum (Rechtsstaat) di mana kekuasaan tidak boleh sewenang-wenang, karena harus tunduk pada hukum. Hukum berlaku untuk semua, termasuk pejabat negara; keadilan, transparansi, dan akuntabilitas adalah pilar utama.

Harus kita akui dalam negara demokrasi modern, otoritas negara sebagaimana yang digagas Hobbes pada abad 17 harus tetap ada. Artinya, negara demokrasi modern tidak menolak otoritas, tapi membagi dan membatasinya.  Dalam negara demokrasi, pejabat publik dipilih atau diangkat untuk melayani rakyat, bukan untuk dilayani, wajib tunduk pada hukum, etika publik, dan prinsip akuntabilitas. Ini menyangkut bagaimana kekuasaan dipraktikkan oleh pejabat negara dan bagaimana kritik warga negara seharusnya diterima dalam sistem demokrasi. Media DPR RI  memberitakan “DPR RI sahkan Revisi UU TNI , Tetap Kedepankan Prinsip Demokrasi”. Kini yang tersisa dan lekat dalam ingatan adalah bagaimana respons pejabat publik menghadapi kritik publik, yang terkesan tak siap dikritik. Padahal kebebasan menyampaikan pendapat adalah jantung demokrasi (periksa UUD 1945 Pasal 28E dan 28F).

Ketika seorang pejabat menggunakan kata-kata kasar, menghina, atau mendelegitimasi kritik warga, itu bukan hanya soal etika pribadi, tapi menyangkut soal: penyalahgunaan kekuasaan secara verbal; pelecehan terhadap prinsip keterbukaan; dan bahkan berpotensi menciptakan iklim ketakutan dalam ruang publik. Pernyataan seperti: “Otak kampungan”, atau “Kau yang gelap, bukan Indonesia”, bisa dilihat sebagai upaya untuk mendelegitimasi kritik. Ini berbahaya karena: mengaburkan batas antara negara dan kekuasaan pribadi; mematikan ruang diskusi publik yang sehat; dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Kritik seyogyanya tidak dilihat sebagai ancaman, tetapi sebagai bahan refleksi dan koreksi kekuasaan. Intensitas bahasa kasar semakin meningkat ketika kritik atau pembicaraan publik yang menyangkut penyelenggara negara, bahkan (calon presiden ketika itu) Prabowo juga sempat mengucapkan kata-kata kasar “ndasmu etik”, tapi kemudian dia minta hendaknya hal itu tidak perlu dibesar-besarkan oleh media. Jadi pada pokoknya, dalam perspektif politik, kata-kata kasar pejabat mengikis kepercayaan publik dan menunjukkan “Defectus Principatus Moralis”, Moral Leadership Deficit” atau defisit kepemimpinan moral yang berakibat perilaku tidak etis, produktivitas rendah, dan keterasingan. Kelas penguasa harusnya memiliki kerendahan hati untuk dikritik, bukan menyuruh rakyat diam atau menyindir balik.

Dalam negara demokrasi, pejabat publik tidak hanya boleh dikritik, tapi wajib menerima kritik. Mengguna-kan bahasa kasar atau mendelegitimasi aktivis adalah bentuk penyimpangan dari semangat demokrasi dan merugikan martabat negara hukum. Pernyataan seperti itu lebih mencerminkan sisa-sisa otoritarianisme, bukan semangat demokrasi yang modern dan partisipatif.

Dalam perspektif filsafat dan logika  dipahami sebuah strategi retorikal yang sudah dikenal sejak zaman Aristoteles, yaitu penalaran ad hominem”, lengkapnya argumentum ad hominem” (Latin: tertuju pada orangnya), di mana seseorang menyerang kesalahan tulis, kesalahan istilah, kesalahan pemilihan kata, karakter, motif, atau beberapa atribut dari orang yang membuat argumen ketimbang menyerang substansi dari argumen itu sendiri. Penalaran ad hominem biasanya dipandang sebagai logical fallacy atau kesesatan logika, atau bisa juga sebagai suatu bentuk cacat logika ketika lawan debat menyerang hal-hal di luar substansi dari tujuan utama sebuah debat maupun pembicaraan itu sendiri, ataupun justru menyerang kepribadian kita.

Jenderal yang mengucapkan: “Otak Kampungan” ini jelas-jelas menggunakan penalaran ad hominem, menyerang karakter orang atau kecerdasan individu yang mengkritik Revisi UU TNI, alih-alih membantah argumen pengkritik dengan alasan rasional. Sadar atau tidak, sebenarnya beliau sudah menciptakan polarisasi sosial, di mana mereka yang mengkritik dianggap “rendah” atau “tidak berpendidikan”, meskipun kritik tersebut boleh jadi memiliki dasar hukum dan sejarah yang kuat. Disamping itu statemen demikian telah melemahkan budaya demokrasi, karena pejabat publik seharusnya berdebat dengan argumen, bukan dengan penghinaan. Lebih parah lagi yang diucapkan oleh seorang tokoh yang berposisi strategis: “Yang Gelap Kau, Bukan Indonesia”. Ini selain dipandang sebagai penalaran ad hominem yang melecehkan pengkritik, juga sebuah pernyataan peyoratif (Peyorative Statement): ungkapan yang mengandung makna merendahkan, mengejek, atau mencemooh terhadap seseorang. Saya yakin kita berharap  dari seorang tokoh yang malang melintang di pemerintahan ini seharusnya mengedepankan pernyataan yang amelioratif (Ameliorate Statement): yaitu ucapan yang bersifat meredakan, membangun, memberi penguatan positif, dan mengarahkan opini publik ke arah solusi, bukan memperkeruh keadaan dengan nada merendahkan. Jawaban ini mengejek atau meremehkan isu yang dihadapi oleh media dan aktivis. Sebaliknya, jawaban yang lebih serius seharusnya mengarah pada penanggulangan atau klarifikasi terhadap ancaman tersebut. Tapi, itulah kiranya politik bahasa kekuasaan, yang menggunakan narasi untuk membungkam perdebatan lebih lanjut, jauh dari pendekatan argumentatif dan dialogis. Namun, dengan merespons secara emosional dan merendahkan pengkritik, seorang pejabat justru mencerminkan pola pikir otoritarian – di mana kekuasaan tidak boleh dipertanyakan dan kritik dianggap sebagai gangguan, bukan sebagai masukan. Itulah pilihan mereka, mumpung lagi berkuasa. Ben

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini