SCNEWS – “Rendahkanlah dirimu, hingga jantungmu berdetak bersama akar. Kuatkan pijakanmu, hingga mimpimu menyentuh bintang” – DARTCOMM
Istilah ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk adalah sebuah pepatah yang mengingatkan kita untuk memahami bahwa kekuatan kehidupan ada pada fondasi atau akar. Memahami dan menghormati yang menjadi fondasi ini menjadi sangat penting, agar pijakan kita kuat. Karena jika kita tidak memahami filosofi ini, kita akan terkecoh oleh dahan, ranting, bunga dan buah yang tampak luar. Memang tampak memberikan keindahan dan manfaat, akan tetapi menjadi tidak berarti saat akarnya rapuh. Karena akar yang rapuh bisa membuat pohon tumbang. Dan jika sudah tumbang, maka keindahan bunga, manfaat buah dan kekuatan dahan maupun ranting menjadi onggokan yang akan disingkirkan, bahkan dianggap menggangu. Saat akar membusuk, semuanya menjadi tidak optimal, mungkin hanya bisa digunakan menjadi bahan kompos atau sekedar santapan yang segera habis, tak berkelanjutan.
Sebuah kedalaman makna bahwa dalam kehidupan kita harus memahami ‘siapa’, ‘darimana’ dan ‘mengapa’, sebagai fondasi kehidupan sehingga bisa dengan bijak menentukan ‘bagaimana’ dan ‘kemana’ sebagai arah dan tujuan. Memahami fondasi bukan berarti akan menjadi penghalang untuk berkembang dan mengembangkan diri. Tetapi agar pada setiap tantangan yang dihadapi saat kita berkembang, ada pijakan kuat yang membuat kita tidak mudah goyang.
Pencapaian-pencapaian kehidupan baik berupa materi maupun status sosial, jika tidak diiringi dengan fondasi yang kuat akan membuat seseorang menjadi gamang. Ada istilah ‘star syndrome’ untuk mereka yang gagap saat memasuki status sosial yang penuh gegap gempita, seperti menjadi bintang atau tokoh yang di elu-elukan. Karena harus dipahami, dalam setiap aspek kehidupan selalu ada dua sisi yang berpasangan dengan beda kutub. Ada suka ada duka, ada pemuja pasti ada pembenci, atau dikenal dengan ‘hatters’. Semakin tinggi pohon menjulang, akan semakin kencang angin bertiup, bahkan kadang harus menghadapi badai. Jika fondasi kita tidak kuat, maka kita mudah tumbang, bukan saja oleh kerasnya hempasan angin, tapi oleh rimbunnya daun dan buah itu sendiri.
Lalu fondasi seperti apa yang harus kita perkuat untuk menjadi akar dalam kehidupan kita ??
Saat kita memahami ‘siapa’ dan ‘darimana’, maka aspek ketuhanan adalah kuncinya. Ketika kita memahami bahwa kita hanya ciptaan, yang merupakan noktah kecil dari kebesaranNya, maka akan mengikis kesombongan, keangkuhan atas pencapaian ke-aku-an. Bahwa apa yang kita jalankan, adalah ikhtiar karena merupakan sebuah perjanjian atas garis kehidupan yang telah ditetapkan, maka setiap pencapaian dan prestasi-prestasi dalam kehidupan sesungguhnya adalah takdir yang telah digariskan. Bahwa takdir itu harus dijemput dengan ikhtiar, untuk bisa mendapatkan kualitasnya. Kualitas pencapaian untuk diri kita, yang merupakan ‘awarding’ yang kita kumpulkan sebagai bekal kita pulang kelak. Memang benar takdir itu pasti akan datang, bahkan jika kita tidak mengupayakannya dalam bentuk ikhtiar. Tetapi kualitas yang didapat hanya kita ketemu dengan ketentuanNya, tanpa mendapat atau memperoleh ‘award’ yang disebut amal atau pahala tersebut. Jadi hasil dari sebuah ikhtiar dalam mengupayakan menjemput takdir adalah untuk diri kita, sementara takdir itu sendiri adalah ketetapan yang memang sudah ada, yang hanya menjadi rahasiaNya.
Saat kita terus belajar memperkuat fondasi dengan memahami ‘siapa’ dan ‘darimana’, maka kita akan dengan bersemangat mengupayakan ikhtiar sebagai bentuk ‘bagaimana’ dan ‘kemana’ untuk menjemput takdir kita. Pemahaman secara utuh fondasi kehidupan ini pastinya juga perlu proses dan diasah terus menerus untuk meningkatkan kualitas hati dan kepekaan diri kita. Saat pencapaian kehidupan semakin meningkat, jika kualitas pemahaman fondasi semakin kuat, artinya akar semakin subur, maka kita semakin merunduk. Karena kita memahami, satu per satu takdir yang disiapkanNya sudah terjemput,waktu semakin berkurang.
Dalam mawas diri, untuk memahami kualitas fondasi, setiap tahapan akan mencoba mengevaluasi apakah ikhtiar kita layak mendapatkan ‘award’ untuk bekal kita kelak. Memang manusia tidak berhak menghakimi kualitas ikhtiar secara hakiki, karena itu adalah hak preoregatif Tuhan. Tetapi mencoba waspada dengan menakar berdasarkan ilmu, akan membuat kita terus mawas diri. Merasa terus kurang dalam hal kebaikan akan menjadi sarana untuk terus memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas dalam segala aspek.
Proses menguatkan akar atau fondasi ini bukan berarti membatasi mimpi dan cita-cita. Karena sesungguhnya akar yang subur dan berkualitas akan menghasilkan daun, buah dan bunga yang berkualitas juga. Jadi sikap merunduk bak ilmu padi tidak akan mengurangi kualitas diri. Tetaplah dengan sikap dan tampilan yang disesuaikan dengan profesional atau situasi kondisi, tapi tetap ada batasan sehingga kita tidak jumawa dalam setiap pencapaian.
Rendahkanlah diri, bukan untuk rendah diri. Dongakkan mimpi dan pencapaian, bukan kepala dan dagu untuk jumawa.
DhyRozz