SEMAKIN KEPINGGIR
“…kehidupan saya sendiri adalah anugerahNya, fisik saya adalah anugerahNya, fikiran saya adalah anugerahNya, jiwa dan qalbu saya adalah anugerahNya dan Ruh sayapun adalah Ruhnya yang ditiupkanNya kepada saya”.
Oleh : Syaifudin
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Sahabat secangkir kopi seribu inspirasi, rasa hormat saya yang sangat dalam kepada para sahabat yang telah berkenan menyimak seri tulisan secangkir kopi seribu inspirasi, terkadang dalam garis linear saya terus menulis apa yang mampir dalam benak saya, namun terkadang saya pada kondisi tertentu juga “bungkam” tidak dapat menuliskannya yang disebabkan perasaan semakin kecil dan sedikitnya wawasan saya dalam perenungan “kosmos”, akibatnya saya memilih “diam” dan “pergi kepinggir” untuk menikmati kesendirian melakukan kontemplasi diskusi dengan diri saya sendiri dan ternyata sayapun menikmatinya.
Kenikmatan kesendirian itu kalau saya biarkan terus akan membawa saya pada dunia lain yang tingkat keduniaannya bisa saja dikatakan “gila” karena menghipnotis jiwa dan fikiran saya tertuju pada “kepuasan” diri sendiri mengembara pada semesta yang maha luas tanpa batas dan ujung dan pangkalnya dalam ruang yang berada dalam genggamanNya, sehingga diri saya berubah menjadi sosok “debunya debunya… debu” yang ikut berterbangan dalam poros lingkaran bumi yang berputar mengitari matahari, sementara matahari sendiri juga berputar para poros galaksi galaksi lainnya di alam semsta ini.
Saat saya “berujud debu” ini, saya hanya membiarkan diri saya melesat berterbangan mengikuti arus alam kehidupan dengan “berserah” kepada Nya tanpa mempunyai daya dan upaya sedikitpun, karena kehidupan saya sendiri adalah anugerahNya, fisik saya adalah anugerahNya, fikiran saya adalah anugerahNya, jiwa dan qalbu saya adalah anugerahNya dan Ruh sayapun adalah Ruhnya yang ditiupkanNya kepada saya. Dan pada saat debu ini memikirkan dan merenungkan kehidupan, maka pantaskan saya kemudian menulis inspirasi yang seolah-olah berhak mengajak orang lain membacanya dan merenungkannya juga.
Sahabat ! sejujurnya apa-apa yang saya ungkapkan di seri secangkir kopi seribu inspirasi ini tak lebih dari renungan yang menempatkan kehidupan sebagai guru, sedangkan saya adalam kurid kehidupan itu sendiri, oleh karena itu dalam posisi murid maka saya adalah sedang belajar sehingga mohon dimkallumi dan dimaafkan atas kedangkalan inspirasi yang saya ungkapkan.
Inspirasi yang muncul dan saya ungkapkan setelah saya renungkan kembali umumnya berada pada posisi “debu” yang dalam perputaran rotasi bumi ini sedang berada di pinggir dan semakin posisi dipinggir punya kesempatan mengamati dan mengutarakan pengalaman saat berada pada hiruk pikuknya kehidupan ini. Oleh karena itu pada saat saya tidak dapat mengungkapkannya, maka saat itu saya bergumul asyik beterbangan dengan debu debu lainnya yang menghiasi kehidupan.
Dari sinilah kemudian, terkadang muncul kesadaran untuk sengaja sebentar menuju kepinggir dari arus perputaran bumi ini sembari menikmati dan mengamati bagaimana perputaran itu berlangsung. Oh ternyata cara berfikir “teologis” dengan mengimani kemudian mencernanya dengan fikiran dan dilanjutkan dengan mengamalkannya lebih membuat ruang kepada saya untuk bercerita tentang pengalaman perenungan itu, dari pada saat berada dalam perputaran gumpalan “debu kehiduan” yang begitu cepat yang membuat saya “larut” dan tak bisa merenung sehingga tak bisa bercerita.
Sahabat ! dari sinilah kemudian, saya terus berusaha memperbanyak pergi ke “pinggir” untuk menyaksikan panggung kehidupan, dan ternyata hasilnya saya bisa mentertawakan diri saya sendiri, menyesali diri saya sendiri dan bahkan membuat saya semakin bodoh saat berada dalam gelanggang kehidupan.
Untuk itu ijinkan saya terus mengajak diri saya sendiri dan sahabat yang lagi berada dalam gelanggang kehidupan ini, untuk sebentar “memarkir” diri ke pinggir kehidupan dan merenungkan apa-apa yang sudah dilakukan saat berada dalam gelanggang kehidupan itu, apakah itu gelanggang politik, pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya serta tak terkecuali sahabat yang berada dalam gelanggang “dakwah”. Lalu tanyakan pada diri kita untuk apa dan untuk siapa selama ini kita berkiprah ? Dan dalam posisi sebagai “debu” apakah segala yang kita punyai yang menjadi label duniawi itu apakah karena kita atau karena anugerah Yang Maha Kuasa, lantas pantaskah kita mengemban amanah yang selama ini diberikan kepada kita ?
Sahabat ! semakin kita memarkir diri kepinggir dari gelanggang kehidupan, maka saya merasakan semakin membuat kita sadar akan hakikat kehidupan.
Salam secangkir kopi seribu inspirasi.