SENGKUNI TURUN GELANGGANG
Oleh:
Pathurrahman Kurnain
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Tulisan ini dibuka dengan percakapan antara Sengkuni dan Duryudana, mari kita simak percakapannya berikut ini :
Sengkuni:
“Duryudana, Pandawa adalah sepupumu. Tidak sepantasnya engkau iri melihat kemakmuran mereka. Mereka memperoleh kerajaan dan kemakmuran itu secara sah. Nasib baik memihak mereka sehingga mereka dapat menikmati kekayaan dan kemakmuran tanpa merugikan orang lain. Mengapa engkau harus iri? Mengapa engkau biarkan kekuatan dan kebahagiaan mereka menggerus kebesaranmu. Saudara dan kerabat-kerabatmu ada di belakangmu dan patuh kepadamu. Durna, Aswatama, dan Karna ada di pihakmu. Apakah masih ada alasan untuk bersedih ketika Bhisma, Kripa, Jayadrata, Somadatta dan aku sendiri selalu mendukungmu? Bahkan jika kau mau, kau bisa menaklukkan seluruh dunia. Jangan biarkan dirimu dirongrong keesedihan.”
Duryudana:
“Paman Sengkuni benar. Aku memiliki banyak pendukung. Mengapa tidak kita serang dan usir saja Pandawa dari Indraprasta?”
Sengkuni:
“Tidak. Itu tidak akan mudah. Aku tahu cara mengusir Yudhistira dari Indraprasta tanpa harus berperang atau menumpahkan darah.”
Mata Duryudana berbinar. Tetapi gagasan itu terdengar terlalu indah, hingga Duryudana bertanya:
“Paman, apakah mungkin mengalahkan Pandawa tanpa harus bersabung nyawa? Apa rencanamu, Paman?”
Sengkuni:
“Yudhistira gemar bermain dadu, tapi ia tidak pandai. Ia tidak tahu tipu-muslihat dan peluang-peluang yang bisa digunakan orang cerdik. Jika kita undang untuk bermain dadu, ia pasti akan menerima, sebagaimana tradisi para kesatria. Aku tahu tipu muslihat permainan dadu dan aku akan bermain atas namamu. Melawanku Yudhistira pasti tidak akan berdaya. Ia tidak akan bisa berbuat apa-apa, seperti seorang anak kecil. Aku akan memenangkan kerajaan dan kemakmurannya untukmu tanpa harus menumpahkan darah.”
Percakapan di atas merupakan kutipan dalam salah satu chapter buku Mahabharata dan Ramayana yag ditulis oleh C. Rajagopalachari. Sebagai epos paling berpengaruh di muka bumi, kisah-kisah yang disajikannya tidak saja mengandung kearifan, kebijaksanaan serta nilai-nilai adiluhung yang perlu diteladani. Cerita-cerita di dalamnya juga mengandung kompleksitas latar belakang dari setiap tokoh-tokohnya yang sangat menawan. Sehingga diperlukan pembacaan dan pemahaman yang seksama pada cerita-cerita ini, agar tidak terjadi penghakiman secara sepihak terhadap para tokoh di dalamnya, karena banyak dari kita hanya menggunakan cara pandang satu-sisi yang melahirkan karakter hitam-putih dalam setiap lakon yang dibawakan. Padahal semua tokoh yang ada di dalamnya sangat unik, dimana sifat protagonis dan antagonis selalu berjalan beriringan dalam diri masing-masing tokoh.
Tidak terkecuali Sengkuni (Saubala), yang menjadi sosok penasihat utama Duryodana, pemimpin para Kurawa. Sebagai konsultan politik keluarga Kurawa, prestasi terbesarnya yakni saat berhasil mengambil alih kerajaan Indraprashta dari tangan Pandawa melalui permainan dadu. Bahkan, karena terus-menerus kalah bermain, Yudhistira turut mempertaruhkan apapun yang masih berharga dari hidupnya. Tidak terkecuali raga para saudara pandawanya dan istri mereka sendiri yakni Drupadi. Namun kemenangan demi kemenangan terus berada dalam genggaman Sengkuni, hingga tidak ada lagi modal yang bisa dipertaruhkan oleh Yudhistira.
Dari cerita tersebut, kita dapat mengambil hikmah bagaimana kepiawaian Sengkuni sebagai konsultan politik Kurawa. Karena siasatnya, setidaknya pada saat itu ambisi Duryodana untuk berperang melawan keluarga Pandawa berhasil di redam. Besar kemungkinan, jika hal itu terjadi bukanlah kemenangan yang didapatkan keluarga Kurawa, melainkan justru kekalahan dan penderitaan yang akan mereka alami. Meskipun telah diramalkan akan adanya Perang Bharatayudha antara Pandawa dan Kurawa di padang Kurusetra, namun dengan strategi Sengkuni perang yang menimbulkan banyak korban dan kerugian di kedua belah pihak tersebut setidaknya dapat tertunda selama 13 tahun lamanya. Waktu yang cukup bagi keluarga Kurawa untuk menikmati kekuasaan atas kerajaan Indraprashta sebelum akhirnya direbut kembali oleh keluarga Pandawa. Selain itu, dengan lobi-lobi politiknya, Sengkuni berhasil merayu Kurawa dan Pandawa untuk memindahkan arena pertempuran fisik di medan perang yang melibatkan ribuan orang ke dalam arena permainan dadu yang hanya dimainkan oleh dua orang, yakni Sengkuni melawan Yudhistira. Hal in penting untuk dilakukan Sengkuni, agar pertumpahan darah yang akan terjadi saat itu dapat dihindari, sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Mao Zedong, “Politik adalah perang tanpa pertumpahan darah, sedangkan perang adalah politik dengan pertumpahan darah”.
Bila direfleksikan dalam kehidupan politik kontemporer, kecerdasan siasat Sengkuni sepatutnya menjadi pakem dari setiap konsultan politik yang menjadi penasihat para politisi. Tahun 2024 mendatang kita akan menghadapi pemilu serantak, dimana akan banyak waktu, energi, pikiran dan sumberdaya yang akan terkuras untuk memenangkannya. Belum lagi resiko konflik besar yang akan terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat akar rumput. Oleh sebab itu, perlu diperhatikan oleh para konsultan politik apakah nasihat-nasihat politik yang ditawarkannya telah mencerminkan filosofi politik Sengkuni.
Dalam konteks ini, setidaknya filosofi politik Sengkuni dapat dicermati dari tiga hal:
(1) Kemampuan untuk meminimalisir resiko kerugian yang dapat terjadi, baik dalam penggunaan sumberdaya (bisa berupa finansial, jaringan, logistik dan lain sebagainya) maupun resiko pecahnya konflik terbuka di masyarakat, karena benturan antar pendukung kandidat.
(2) Kemampuan untuk menarik kompetitor ke arena kontestasi yang memungkinkan kandidat yang didukungnya akan memenangkan pertarungan, atau setidaknya mampu mencari arena-arena pertarungan yang paling menguntungkan bagi kandidat yang didukungnya.
(3) Kemampuan untuk menunda kekalahan bagi kandidat yang akan bertarung. Artinya konsultan politik mampu untuk memproyeksikan kandidat yang didukungnya agar tidak semata-mata terjun ke arena politik elektoral hanya karena dorongan emosional dan ambisi kekuasaan semata. Karena masuk ke arena politik elektoral perlu proses persiapan yang matang, jika tidak ingin segera tumbang. Seperti adagium yang pernah disampaikankan oleh orang bijak, “Siapa yang naik panggung tanpa persiapan, bakal turun panggung tanpa penghormatan”. Konsultan politik yang bijak tidak hanya bisa memprovokasi politisi untuk terjun ke arena, akan tetapi juga mencegah politisi tersebut untuk terjun dan “mati-konyol” di arena pertempuran jika hal tersebut justru berpotensi merugikan politisi yang bersangkutan.
Oleh sebab itu, mencari konsultan politik yang piawai seperti Sengkuni tidaklah mudah. Jika hanya sekadar konsultan yang hanya memikirkan strategi untuk mendapatkan kemenangan semata, tanpa mempertimbangkan resiko besar yang akan dihadapi, atau justru hanya sekadar untuk eksis memberikan dukungan tapi dengan cara memperdaya politisi tersebut, bukankah hal itu sebenarnya lebih kejam dan licik daripada Sengkuni itu sendiri. Jadi, seberapa Sengkuni-kah konsultan politik anda saat ini???