Socrates & Kebenaran Universal
(Tanggapan atas Tulisan yang berjudul “Asumsi & Akrobatik Logika)
Oleh: Pathurrahman Kurnain
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Tulisan ini merupakan respon terhadap tulisan kanda Syaifudin yang berjudul “Asumsi & Akrobatik Logika”. Setelah membaca dan merenungi apa yang menjadi kegelisahan beliau dalam tulisan tersebut, saya teringat dalam satu sub-bab dalam buku “Trailogi Politik” yang saya tulis di awal 2022 yang lalu. Dalam penggalan buku tersebut, saya memaparkan beberapa pemikiran klasik di era Yunani kuno yang terus diperbincangkan oleh manusia-manusia post-modern hingga saat ini. Salah satunya adalah bagaimana mencari sebuah kebenaran jika banyak sudut pandang yang terkadang membuat kebenaran itu sendiri bias terhadap berbagai sudut pandang dan motif seseorang dalam mengklaim sebuah kebenaran. Melalui berbagai asumsi dan aktobatik logika yang dibangun, (seperti yang diuraikan penulis) seseorang bisa saja merangkai berbagai fakta hingga akhirnya tergiring pada kesimpulan yang dikatakannya sebagai sebuah kebenaran. Walaupun jika kebenaran itu dibongkar dengan metode tertentu, bisa jadi kebenaran tersebut hanyalah berupa kabut yang justru menyelimuti sebuah kebenaran itu sendiri, yakni kebenaran universal dan objektif yang dapat diterima oleh semua pihak.
Sebagai seorang filsuf, Socrates mengajarkan kepada murid-muridnya bahwa proses mencari kebenaran itu bukanlah perkara yang remeh. Kebenaran tidaklah ditemukan dari tindakan yang pasif, kebernaran bukanlah sesuatu yang bersifat given, atau datang begitu saja layaknya kumbang yang mendatangi bunga. Akan tetapi memerlukan serangkaian upaya-upaya (metode) agar kebenaran itu bisa dipertanggung-jawabkan dan bisa diterima oleh berbagai pihak secara universal. Pencarian kebenaran universal ini didahului dari proses dialog oleh individu-individu ataupun kelompok dari pihak-pihak yang terkait, kemudian dianalisis untuk mencari kebenaran objektif. Kita ambil contoh, umpamanya kita ingin mencari makna kesejahteraan. Kita tidak hanya mencari definsi sejahtera dari kalangan pedagang ataupun pelaku ekonomi lainnya saja. Kita perlu mendengar apa yang mereka maksud sebagai arti dari kesejahteraan dari kalangan guru, petani & nelayan, prajurit, seniman dan kelompok masyarakat lainnya.
Dari berbagai penjelasan atas pemaknaan kesejahteraan tadi, kemudian dilakukan penarikan benang merah dan titik temu yang bersifat universal tentang makna kesejahteraan yang dapat ditoleransi oleh sebagian besar kelompok yang terlibat dalam pembahasan. Hasil titik-temu atas jawaban berbagai pihak inilah yang kemudian dijadikan hipotesis sementara untuk dibicarakan kembali kepada seluruh pihak terkait hingga dicapai definisi umum yang bisa diterima secara holistik oleh semua kalangan. Jika belum tercapai akibat terjadinya kebingungan (aporia), maka proses dialognya akan diulang kembali hingga menemukan definisi bersama atas konsep kesejahteraan. Metode inilah yang disebut Socrates sebagai dialektika (dialog) yang dalam bahasa Yunani dikenal sebagai dialeghesthai. Hanya melalui proses dialektika, menurut Socrates, kebenaran universal akan sangat mungkin untuk ditemukan.