SUBUH DI AL AQSHO (SERI CATATAN TJIPTO SUMADI)

SUBUH DI AL AQSHO

Hikmah dari catatan perjalanan kali ini, Pertama bahwa kemerdekaan suatu bangsa bukanlah sebuah pemberian cuma-cuma dari kolonial. Kemerdekaan harus diperjuangkan dengan harta, darah, air mata, bahkan nyawa. Setiap perjuangan akan melahirkan epos kepahlawanan dan menyisakan jejak kebanggaan bagi bangsanya. Kedua, apapun bentuknya “penjajah” tetaplah penjajah meskipun berubah wajah. Boleh jadi kolonialisme eskploitasi berbasis persenjataan seperti di tanah Palestina sudah berkurang, tetapi kolonialsme ekspolitasi berbasis ekonomi, budaya, dan sumber daya alam sepertinya patut diwaspadai agar tidak semakin menjadi-jadi. Ketiga, sebagai anak bangsa yang terbukti gigih meraih kemerdekaan, sepatutnya kita terus menggelorakan daya juang kebangsaan, guna terus melawan kolonialisme di bidang ekonomi, budaya, sumber daya alam, dan upaya penistaan kebangsaan yang dieksploitasi oleh kekuatan asing di negeri tercinta ini.

Oleh Tjipto Sumadi*

SCNEWS.ID-JAKARTA. Pembaca yang Budiman. Telah banyak tulisan atau cerita lisan yang dipaparkan oleh banyak orang yang pernah berziarah ke tempat yang disucikan oleh tiga penganut agama samawi. Kecenderungan paparan itu berkisah tentang indahnya Kubah Emas atau kemegahan masjid yang dibangun oleh utusan Tuhan di tanah yang diagungkan itu. Demikian agungnya tanah Jerusalem ini, sehingga pertikaian antar-bangsa, antar-etnik, bahkan antar-negara nyaris tidak pernah berhenti. Bahkan pergantian negara adidaya pun ikut memengaruhi peta kewilayahan tanah Palestina ini.

Tulisan ini hanya melihat secara ringan sisi lain dari fenomena yang terjadi di Masjid Al Aqsho. Tentu, tidak istimewa kalau yang terjadi di rumah ibadah itu hanya bercerita tentang sejumlah orang yang melakukan ibadah sesuai perintah Tuhan. Tulisan ini memaparkan aktivitas lain para jamaah, seusai melaksanakan ibadahnya.

Menjelang waktu Subuh tiba, tampak sejumlah orang dari luar tembok kompleks Aqsho mengalir menuju satu titik Masjidil Aqsho. Ketujuh pintu gerbang dibuka dengan penjagaan luar dan dalam yang ketat. Setiap jamaah yang membawa benda mencurigakan, dihentikan dan diperiksa. Semua benda boleh dihentikan dan dikeluarkan dari bawaan para jamaah. Namun ada satu yang tak pernah bisa diperiksa oleh para penjaga pintu gerbang itu, yaitu Keyakinan atau Keimanan para jamaah. Keimanan yang menggunung dan menggelora di dalam dada para jamaah tak kan pernah bisa dihentikan. Tak ada senjata tajam, tak ada senjata berpeluru, tak ada pula bubuk mesiu yang dibawa jamaah menuju rumah ibadah ini. Sekali lagi mereka hanya membawa keimanan dan keyakinan, bahwa suatu hari akan ada “keajaiban” yang datang untuk melepaskan diri dari cengkeraman kaum Zionis.

Motivator Membangkitkan Perjuangan di Aqsho (Dokumen Pribadi)

Usai pelaksanaan sholat Subuh, tanpa diperintah, jamaah berkelompok membentuk lingkaran dengan seorang pembicara berdiri di tengah-depan para jamaah. Dalam Bahasa campuran Arab dan Inggris, pembicara mulai menyampaikan ungkapannya. Diawali dari pujian kepada Tuhan dan Rasul-Nya, ia pun menyampaikan sejumlah pesan keimanan. Sejurus kemudian, pembicaraan mulai memasuki motivasi ke arah membangkitkan rasa nasionalisme dan kebangsaan Palestina. Pembicara dengan piawai membangkitkan nurani jamaah yang semakin terkesima dengan idealisme pembicara. Sementara di sisi lain, ada sejumlah pemuda dengan lemah lembut menyampaikan kepada jamaah yang berziarah. Pemuda ini mengisahkan, bahwa setiap hari di dalam masjid ini tak pernah kosong dari pemaparan para imam yang menyampaikan motivasi. Semua itu, hanya satu tujuannya, yaitu rakyat Palestina wajib mempertahankan kepemilikan Masjid Aqsho dan melawan kaum Zionis. Ungkapan-ungkapan para pembangkit nasionalisme itu mengingatkan kita kepada perjuangan Intifada yang digagas oleh Yasser Arafat.

Usai sholat Subuh, Motivator Pejuang Palestina Membangkitkan Rasa Nasionalisme (Dokumen Pribadi)

Di atas, penulis menyampaikan bahwa rakyat Palestina berharap ada keajaiban yang akan melepaskan mereka dari cengkeraman Zionis, tentu hal ini sangat beralasan. Dalam keadaan embargo peralatan untuk berperang, mereka memang tidak memiliki kekuatan senjata. Satu-satunya kekuatan mereka adalah Keimanan dan Keyakinan akan hadirnya sebuah keajaiban. Betapa tidak, Israel telah membangun tanah Palestina yang dikuasainya menjadi permukiman permanen dangan kondominium. Di sepanjang pantai Laut Mati maupun di Tel Aviv, bahkan di tepian Laut Merah hingga ke Taba (pintu perbatasan dengan wilayah Mesir) berdiri hotel-hotel mewah yang dihuni oleh wisatawan mancanegara. Turis-turis ini dimanjakan sedemikian rupa, dan mereka tentu menghabiskan dolarnya, sehingga dapat terus meningkatkan devisa bagi Israel. Sementara itu, warga Palestina dibatasi dan terkurung di wilayahnya. Warga Palestina yang berada di Hebron, tidak dapat berkunjung ke Jerusalem Timur, atau ke Jericho, atau ke tempat lainnyanyang belum dianeksasi Israel, demikian pula sebaliknya. Dalam sebuah percakapan penulis dengan seorang penjaga “makam” nabi Yunus, yang mengatakan; “Saya  bisa ke Indonesia, tapi saya tidak bisa ke Jerusalem. Saya pernah tinggal sebulan di Surabaya. Anda bersyukur, karena bisa mengunjungi wilayah-wilayah kami yang terpotong-potong ini”.

Semua yang penulis saksikan di sepanjang wilayah pendudukan Israel, tergambar jelas disampaikan oleh para motivator pejuang Palestina di dalam Masjid Al Aqsho. Jasad Yasser Arafat boleh pergi, tetapi jiwa kejuangannya tetap dan selalu menggelora di saat Subuh di dalam Al Aqsho.

Salah satu sudut Al Aqsho; di waktu Subuh (Dokumen Pribadi)

Pembaca yang Budiman

Hikmah apa yang dapat dipelajari dari peristiwa ini? Pertama bahwa kemerdekaan suatu bangsa bukanlah sebuah pemberian cuma-cuma dari kolonial. Kemerdekaan harus diperjuangkan dengan harta, darah, air mata, bahkan nyawa. Setiap perjuangan akan melahirkan epos kepahlawanan dan menyisakan jejak kebanggaan bagi bangsanya. Kedua, apapun bentuknya “penjajah tetaplah penjajah meskipun berubah wajah. Boleh jadi kolonialisme eskploitasi berbasis persenjataan seperti di tanah Palestina sudah berkurang, tetapi kolonialsme ekspolitasi berbasis ekonomi, budaya, dan sumber daya alam sepertinya patut diwaspadai agar tidak semakin menjadi-jadi. Ketiga, sebagai anak bangsa yang terbukti gigih meraih kemerdekaan, sepatutnya kita terus menggelorakan daya juang kebangsaan, guna terus melawan kolonialisme di bidang ekonomi, budaya, sumber daya alam, dan upaya penistaan kebangsaan yang dieksploitasi oleh kekuatan asing di negeri tercinta ini.

Semoga Bermanfaat.

*) Mahasiswa Teladan 1987

    Dosen Universitas Negeri Jakarta

Terbaru

spot_img

Related Stories

1 KOMENTAR

  1. Mantap, mengharukan, menggugah semangat kita semua. Semoga terus menginspitasi.
    Saya mahasiswa IKIP Jakarta Lulus D2 thn 1988 Likus S1 Thn 1996

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini