SUPER SMART SOCIETY
Oleh Tjipto Sumadi*
SCNEWS.ID-JAKARTA. Fenomena demam kejuaraan sepak bola dunia tengah melanda semua generasi di dunia. Tua-muda, besar-kecil, bahkan lelaki dan perempuan banyak yang larut dalam eforia kegembiraan menghadapi setiap pertandingan yang disajikan di Qatar itu. Fakta menunjukkan, ada yang mengawali dengan kegembiraan sebelum pertandingan dimulai, namun di akhir pertandingan ada yang menangis (karena tim pujaannya kalah), dan ada pula yang terus bergembira (karena tim pujaannya memenangi pertandingan). Tawa dan kecerian terlihat pada pendukung tim yang menang, sementara sedih dan kemuraman menghiasi wajah para pendukung tim yang belum beruntung di pertandinganya.
Fenomena menarik tentu banyak sekali terlihat, mengingat ajang olahraga yang digemari oleh lebih dari separuh penduduk dunia ini, untuk pertama kali digelar di negeri yang mayoritas berpenduduk muslim. Aturan yang disepakati antara tuan rumah dengan FIFA, cukup banyak mengundang protes. Dapat dimengerti, sebab biasanya pertandingan yang disaksikan mata sejagat raya ini, selalu diselenggarakan di negara yang mayoritas berpenduduk non-muslim. Beberapa aturan yang diperdebatkan antara lain, tidak diperkenankannya pemain menggunakan atribut LGBT, juga larangan minuman beralkohol di sembarang tempat. Bahkan hingga persoalan pakaian pun menjadi sesuatu yang diatur dalam pergelaran ini. Tentu ini di luar kebiasaan para supporters yang datang dari mancanegara dengan berbagai gaya, cara, dan kebiasaan yang berbeda.
Pemandangan yang menarik lainnya adalah, tidak sedikit orang yang mengagumi berkumandangnya suara azan pada setiap waktu sholat tiba. Banyak kita saksikan di media masa, sejumlah orang datang ke masjid hanya untuk mendengarkan azan, lalu berdialog dengan para ta’mir masjid. Ada yang mendengarkan dengan khusuk penjelasan pengurus masjid, dan ada juga yang hanya berfoto ria di bagian dalam masjid.
Lalu apa kaitannya antara perhelatan Piala Dunia Sepak Bola dengan Super Smart Society?
Para pemerhati televisi yang menyaksikan siaran pernak-pernik di seputar gelaran tersebut, tentu melihat setiap usai pertandingan, warga Qatar keluar rumah untuk memberikan makanan, minuman, dan kudapan gratis kepada para supporters, baik yang menang maupun yang kalah. Warga Qatar dengan keramah-tamahannya menyapa dan membagikan semua yang mereka bawa dengan rasa kasih sayang dan persahabatan yang dalam. Tentu ini sebuah fenomena yang amat jarang terlihat di negara-negara penyelenggara gelaran piala dunia sebelumnya. Tentu fakta ini belum dapat dikatakan sebagai implementasi super smart society sepenuhnya. Akan tetapi ini sudah merupakan kisah inovasi faktual yang terjadi dalam sebuah perhelatan piala dunia.
Super Smart Society yang sesungguhnya adalah perilaku yang ditunjukkan oleh offisial, pemain, dan supporters dari negeri Sakura. Dari berbagai literasi, memang dapat kita baca bahwa untuk mengimbangi perkembangan revolusi industri 4.0 yang berbasis pada kemajuan teknologi, maka Pemerintah Jepang justru mengembangkan nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang berbasis kedamaian, persatuan, penghargaan, dan upaya pelestarian nilai-nilai tradisional. Melalui program Super Smart Society 5.0, mereka mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan universal positif yang mulai luntur di kalangan masyarakat tertentu. Tata-krama, tata-susila, nilai kesopanan, dan nilai saling menghormati serta saling menghargai ditransformasikan melalui pendidikan. Fenomena ini, tampak jelas ditunjukkan oleh seluruh tim dari negeri Fujiyama itu, di Qatar.
Merujuk pada tulisan Pitoyo Hartono (2022), tergambarkan jelas bahwa para offisial, pemain, dan supporters Jepang telah menunjukkan betapa hebatnya tatanan nilai super smart society 5.0 yang dipersembahkan di tengah perhelatan piala dunia ini. Pitoyo menuliskan “… setelah Jepang mengalahkan tim raksasa; Jerman dan Spanyol, lalu ia dikalahkan Kroasia. Kalah adalah kalah, Jepang tidak mengeluarkan satu patah kata pun untuk beralasan. Justru para pemain dan pelatih menyampaikan ucapan terimakasih kepada pendukung dan penyelenggara, dengan cara membungkuk dalam-dalam di hadapan mereka. Bahkan setelah semua penonton meninggalkan stadion, para pemain dan offisial kembali ke lapangan, dan sekali lagi mereka membungkuk dalam-dalam di arena stadion yang hampir kosong, seraya mengucapkan terimakasihnya dan kerendahan hatinya kepada “tempat” pertandingan ini. Hal serupa pun dilakukan oleh para supporters Jepang yang dengan senang hati membersihkan stadion. Bukan karena ingin diliput, tetapi karena budaya super smart society yang telah terinternalisasi ke dalam diri dan jiwa mereka. Dalam tulisannya, Pitoyo juga menyebut, ini sebagai Soft Power yang dimiliki bangsa Jepang sebagai hasil dari “investasi pendidikan” yang dilakukannya.
Dengan mengutip ungkapan Ki Hadjar Dewantara yang sangat familiar; “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”, maka sesungguhnya bangsa Indonesia telah memiliki nilai (values) universal yang dapat dijadikan tolok ukur dan rujukan bagi pengembangan karakter bangsa. Namun, entah apa yang terjadi di negeri ini?, ungkapan Ki Hadjar Dewantoro yang begitu dahsyat, belum mampu menunjukkan kepribadian yang mulia dalam perhelatan sejenis piala dunia itu. Bahkan yang pernah terjadi, justru peristiwa yang mengerikan dan menyedihkan seperti pada tragedi Kanjuruhan. Tentu, pasti ada yang patut diperbaiki dari tatanan bangsa ini, sehingga kita mau dan mampu mengimplementasikan suluhan dari Ki Hadjar Dewantara tersebut dan juga tagihan Super Smart Society of Indonesia yang selalu digadang-gadang sebagai bangsa yang ramah di dunia.
Wallahu’alam bishowab, Semoga Bermanfaat.
*) Dosen Universitas Negeri Jakarta
Disini penting nya investasi pendidikan yaa Prof…
Luar biasaaaa!
Tulisan Prof.Tjipto Sumadi sll menginspirasi yang membaca. Sukses & sehat selalu untuk Prof ya.