TAK NAMPAK MATA
Oleh : Syaifudin
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Sahabat ! Ada “gejala” yang menggugah saya untuk menuliskan judul tulisan “TAK TAMPAK MATA” ini, yaitu sebuah gejala parameter atau tolak ukur “kuantitas” dalam memberikan penilaian berhasil tidaknya sebuah hasil karya, termasuk dalam suatu penerbitan, postingan dan publikasi dalam berbagai flaform. Sehingga ukuran keberhasilannya akan dilihat seberapa banyak dicetak dan dibeli, seberapa banyak yang membaca, seberapa banyak yang me like, seberapa banyak yang memberi tanda jempol, seberapa banyak yang merespon dan seterusnya.
Terasa sangat manusiawi saat kita menghasilkan sesuatu karya (amal), maka kita ingin karya itu dilihat, didengarkan dan dibaca oleh banyak orang, dan semakin banyak orang yang menyimaknya, maka kita merasa “bangga” atas karya tersebut. Bahkan secara formal berbagai lembagapun menggunakan parameter ini untuk dijadikan syarat bekerjasama sebagai pertanda “kepopulerannya”.
Ukuran banyaknya orang yang “menyimak” tersebut sterusnya akan dijadikan ukuran kesuksesan seseorang atas karyanya tersebut, sehingga berbagai lembaga resmipun menyandarkan kepada parameter ini, seperti jumlah visitasi pada artikel di juranal ilmiah, jumlah pemirsa yang menonton konten siaran telivisi, jumlah pembaca (view) pada media cetak dan online, jumlah penonton pada tayangan di media berbasis aplikasi, berapa jumlah suscribenya, berapa jumlah pengikutnya, dan seterusnya. Dalam hal ini berlakulah rumus kuantitas, bahwa semakin banyak semakin baik dan semakin mahal harga yang akan didapatkannya.
Ukuran banyaknya secara kuantitas ini merasuk kepada semua segmen kehidupan kita, hal ini bisa kita saksikan dan rasakan dalam beragai bidang kehidupan, khususnya yang bersifat “bendawi”, jumlah harta dibidang ekonomi, jumlah pendukung dibidang politik, jumlah karya ilmiah dibidang ilmu pengteahuan, jumlah santri atau murid pada pesantrean dan sekolah dibidang pendidikan, jumlah tempat ibadah dan umat dibidang agama dan seterusnya.
Semua ukuran kuantitas yang “nyata” ini jelas terlihat saat kita mengukur segala sesuatu sebagai suatu keberhasilan, sehingga sadar atau tidak sadar, fikiran kita terbentuk secara otomatis pada “jumlah” dialah hal mengukur suatu keberhasilan atau kesuksesan sebagai suatu yang TAMPAK DIMATA. Bahkan mengejar jumlah telah menjadi dasar bergerak, bertindak, berusaha dan berjuang dalam kehidupan di masyarakat, sehingga ia bukan saja sebagai lambang kesuksasan akan tetapi sudah menjadi motivasi dalam sebuah tindakan.
Sahabat ! Kali ini saya tentu tidaklah bermaksud mengkritik parameter “kuantitas” ini, akan tetapi pada saat hal tersebut dijadikan dasar bertindak atau “motivasi” dalam berkarya atau berbuat apapun, maka diperlukan pemahaman baru akan adanya parameter “yang tidak terlihat”. Untuk dijadikan dasar atau motivasi dalam bertindak atau berkarya, hal ini adakalanya terasa “aneh” karena hal ini berlawanan dengan arus popularitas dari parameter kuantitas tersebut.
Untuk memasuki pemahaman kepada HAL YANG TAK TAMPAK ini, memerlukan “kesadaran” bahwa di alam dunia ini tidak hanya dihuni oleh Manusia, akan tetapi juga juga dihuni oleh Makhluk lain, artinya kita meyakini selain manusia ada makhluk ciptaan Allah lainnya yang tak nampak oleh mata kita, seperti Jin dan Malaikat. Disamping itu kita juga meyakini alam dunia ini mempunyai tingkatan “dimensi” yang berada dalam gugusan 7 lapis langit, sehingga manusia yang sudah meningal dunia itu “ruh”nya masih ada dan masuk ke dalam dimensi yang lebih tinggi yang dapat melihat kehidupan manusia, sedangkan kita tidak dapat melihatnya.
Dalam bahasa yang sederhana sering digambarkan kepada kita makhluk yang tidak nampak oleh mata ini disebut sebagai “makhluk langit”, sedangkan yang nampak oleh mata kita disebut “makhluk bumi”. Pertanyaan saya, terkait dengan “karya” yang kita hasilkan seperti yang saya sebutkan di atas tadi apakah juga bisa diakses oleh Makhluk di langit ?
Berdasarkan hal ini, sangat mungkin berdasarkan informasi yang kita terima dari berbagai sumber atas dasar sumber kitab suci, hadist dan sains, maka karya (amal) yag kita lakukan di dunia ini bisa saja tidak populer atau sedikit diakses oleh Manusia, akan tetapi justeru banyak disenangi (diakses) oleh penghuni langit tersebut.
Sahabat ! atas dasar pemikiran yang seperti inilah saya berhenti melihat “jumlah” yang me-like, mensuscribe, menonton, membaca pada setiap postingan saya, khususnya tulisan di scnewsid dan seri secangkir kopi seribu inspirasi versi bertutur monolog serta talk show, sebagai motivasi dan ukuran keberhasilan. Insyaallah kita punya keyakinan setiap konten yang kita share yang isinya menginspirasi kebaikan, kedamaian serta kebahagiaan hidup mendapat tempat dipara penghuni makhluk Langit, terlebih karya (amal) kita itu ditujukan untuk ibadah dalam arti yang seluas-luasnya.
Seorang ahli bijak bahkan memberikan nasihat “tulislah pengetahuan dan lakukan saja, jangan fikirkan kepopulerannya dimata manusia sekarang, sejarah juga mencatat banyak karya yang populer setelah orangnya tiada (meningal dunia) terlebih kalau kita beriman kepada adanya makhluk yang tak tampak, sehingga populer dimata penghuni langit akan lebih utama ketimbang populer dimata penghuni bumi.
Sahabat SKSI scnews.id teruslah berbagi pengetahuan, pengalaman dan wawasan sebagai karya atau amal kebaikan.
Salam secangkir kopi seribusatu inspirasi.