
UNTUK PEREMPUAN
Oleh : IBG Dharma Putra
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Ada deretan kalimat lucu tentang perempuan, yang mengatakan bahwa perempuan punya dua sisi paradoksal, ibarat sisi kanan dan sisi kiri, disisi kirinya berisi emosi disertai kemarahan, sedang sisi kanannya berisikan pikiran damai, ketenangan ataupun kebijaksanaan. Jika dilihat dengan saksama akan terlihat bahwa disisi kiri tidak ada yang kanan dan disisi kanan tidak ada yang tersisa. Humor kasar yang membuat kerut kening dan senyum kecut.
Pada kenyataan nyata keseharian, perempuan adalah paradoks yang memesona, di satu sisi menyimpan samudra emosi, tetapi di sisi lain mengalirkan beningnya kebijaksanaan. Kadang kaum lelaki, menyaksikan kedua sisi itu dengan rasa jengah yang tersembunyi di balik kagum, sebab perempuan selalu menjadi warna yang tidak pernah memudar dalam rentang sejarah manusia.
Perempuan bukan hanya bagian dari zaman, tetapi penggerak perubahan zamannya. Dari era nomaden, ketika keberadaannya sekadar pelengkap kebutuhan biologis, hingga masa pertanian saat perempuan mengelola rumah dan menumbuhkan kehidupan domestik dengan tangan sabarnya. Lalu perempuan memasuki era industri, terseret dalam pusaran paradigma baru yang memisahkan peran lamanya sebagai pendamping sekaligus ibu rumah tangga tanpa sepenuhnya menerima peran baru kesejajaran dan kesetaraan dengan lelakinya.
Saat ini, di era teknologi informasi, perempuan dihadapkan pada persimpangan kebingungan peran, mengharmonikan sisi biologisnya dengan peran sosial yang terus melebar. Kebingungan itu bukan kelemahan, melainkan proses belajar menghadapi ketidakseimbangan yang tercipta dari harapan yang berlebihan, ingin memegang semuanya sekaligus, ingin lebih dalam peran domestik sekaligus lebih dalam peran publik.
Padahal, hidup selalu tentang keseimbangan, bukan tentang mengambil semua sisi hingga tak bersisa untuk yang lain. Bukan soal siapa yang nomor satu atau dua, melainkan tentang siapa yang paling tulus menjadi cahaya bagi yang lain, di ruang domestik maupun ruang publik.
Kegagapan peran transisional itu, selayaknya tak berlanjut dengan kesadaran pengabdian bagi generasi penerus karena fakta berkata perempuan sebagai pasangan biologis lelaki,
sekaligus ibu rumah tangga yang berpengaruh sebesar 75 persen bagi anak anaknya. Gagap dan bingungnya akan meruwetkan semesta.
Menghindari keruwetan tersebut, disarankan perempuan hendaknya melakukan pilihan sadar pada pengabdian dan bukan karena terpaksa.
Perempuan pengabdi bukan perempuan yang kalah, tapi perempuan yang memahami bahwa pengabdian adalah hirarki tinggi kemanusiaan.
Bersedia menahan luka kecil karena absen di perayaan antar teman karena harus mengasuh anak atau sebaliknya, diam serta tetap senyum, saat hatinya remuk karena harus kerja dengan menahan kangen pada ananda yang berada di tempat lain.
Perempuan pengabdi mengetahui secara pasti, bahwa rasa sayang tak diukur dari selalu hadir secara fisik, tetapi dari keberanian mengambil risiko demi orang yang dicintainya, bahkan jika berarti menghadapi bahaya atau dimusuhi dan menghadapi kesalahpahaman dunia.
Percayalah bahwa pengabdian akan membawa perempuan, yang perannya berubah mengikuti zaman, tetap sebagai penenun benang benang kehidupan. Di tangannya, masa depan digulung, dibuka serta dibentuk ulang. Begitu hebat serta luhur, sepanjang perempuan mampu berdamai dengan dirinya sendiri.
Banjarmasin
19072025