ANGKA TIGA DALAM SEJARAH INDONESIA (SERI OPINI IBG DHARMA PUTRA)

ANGKA TIGA DALAM SEJARAH INDONESIA

“Angka tiga, sangat diidolakan oleh para prediden Indonesia, mulai dari yang pertama sampai yang terakhir sekarang ini. Entahlah karena apa. Mungkin saja sebagai sebuah pertanda bahwa Indonesia akan maju jika masa jabatan presidennya dijadikan tiga periode tetapi mungkin juga karena banyak masyarakat yang sebenarnya berkeinginan agar presiden Indonesia memimpin Indonesia dalam tiga periode”.

Oleh: IBG Dharma Putra

SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Ditemukan banyak angka, di lintasan sejarah Indonesia. Angka 17, menjadi pemungkasnya, karena diproklamasikannya kemerdekaan kita, pada tanggal itu. Sebagai tanda, terjaminnya kebebasan berpendapat serta berbicara bagi setiap warga negara seperti lazimnya manusia merdeka .

Ada juga angka lainnya, bahkan mungkin saja, semuanya, tetapi hanya akan ditulis tentang tiga, karena tiga, diduga merupakan angkanya para presiden Indonesia. Disamping lima dan tentunya bukan tiga belas, yang konon angka tanda kesialan. Boleh saja percaya atau tidak, karena tak akan berakibat apa apa.

Menulis tentang tiga, hanya untuk bernostalgia tentang pembangunan, yang dimulainya sejak Indonesia merdeka. Mengingatkan semua cita cita dan harapan yang pernah dipunyai dalam perjalanan bangsa sampai sekarang ini. Ada banyak tiga dalam cita Indonesia.

Tiga pertama, dicanangkan oleh Bung Karno, berisi kedaulatan politik, kemandirian ekonomi serta kepribadian Indonesia yang diistilahkan sebagai Tri Sakti. Terkandung didalamnya sebuah keprihatinan serta mungkin prediksi seorang pendiri bangsa terhadap masa depan bangsanya.

Keprihatinan yang potensial akan menjadi masalah di masa depan sehingga harus diingatkan sejak dini, sejak mulai merdeka. Ternyata memang begitulah adanya, kedaulatan politik, kemandirian ekonomi dan pembangunan karakter sesuai budaya asli Indonesia, masih diperdebatkan sampai sekarang. Sebuah perdebatan sebagai pertanda sekaligus pengingat bagi semuanya.

Budaya Indonesia pada prinsipnya berisi budaya pedalaman diantara para petani dan budaya pesisir dari para nelayan dan pedagang. Budaya pedalaman berisi budaya tradisi yang sudah bercampur dengan budaya cina dan india. Sedangkan budaya pesisir beisi budaya eropa dan arab islam. Itulah budaya Indonesia.

Tiga yang kedua, cukup lama dicita citakan dan diharapkan terjadi, sebuah strategi pembangunan untuk mencapai masyarakat adil makmur ini, dicanangkan oleh Pak Harto, dalam istilah Trilogi Pembangunan, yang berisi pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas nasional.

Sebuah cita dan harapan yang sangat masuk akal sebagai sebuah bangsa tertinggal pada saat itu, sekaligus dengan kesenjangan sosial ekonomi sangat lebar. Dan itu semua bisa dikerjakan tentunya jika ada stabilitas nasional. Dan terbukti, Indonesia bisa maju pesat, menjadi negara berkembang tetapi kesenjangan belum sempat diperbaiki sampai terjadinya ketidak puasan yang meluas secara nasional dan meletuskan reformasi.

Trickle down fenomen yang populer tak pernah menjadi kenyataan untuk mengurangi gini rasio, sebagai tanda tak kunjung terjadinya pemerataan, bahkan berubah menjadi fenomena mentakel down ( jatuh ) pemerintah sehingga berganti ke pemerintahan Pak Habibie yang sibuk bernegosiasi dalam buruknya situasi politik saat itu.

Reformasi menjadi bukti sejarah bahwa pemerataan tidak terjadi karena racun korupsi, kolusi serta nepotisme dalam artian mengutamakan keluarga serta orang dekat tanpa menghargai keaneka ragaman hayati. Sebuah kasih sayang yang dilaksanakan tanpa penegakan keadilan.

Tiganya trilogi pembangunan tetap berlanjut, bahkan sampai ke era pemerintahan Gus Dur. Sangat wajar untuk dilanjutkan karena memang merupakan cita cita yang sempurna, dan lebih potensial akan berhasil jika kelamnya KKN bisa diperbaiki. Dan Gus Dur adalah sosok yang mumpuni serta layak dalam menghadirkannya.

Buruknya situasi politik, baik didalam maupun diluar negeri menjadi penyebab, tidak fokusnya upaya mendudukan trilogi pembangunan di pangkuan ibupertiwi tercinta. Terlalu banyak perdebatan serta kajian yang seolah ingin menyelesaikannya tetapi pada kenyataannya malah menunda nunda.

Ada guyonan subversif yang berkembang di masa itu, kami adalah politisi yang sudah kotor sejak zaman orde baru, dan baru sadar akan kekotoran itu, dalam waktu 32 tahun dan itupun karena dipaksa. Kondisi itu, membuat pesimis karena membayangkan, lama waktu yang akan dibutuhkan bagi munculnya kesadaran dari para politisi yang baru mulai kotor saat ini.

Di Era penerintahan Ibu Megapun begitu, walaupun ada terasa angin ragu, yang juga menginginkan tiganya Tri Sakti, dihidupkan kembali. Tetapi kiprah pemerintahan yang berupaya menyita dan menyelamatan uang negara terkesan masih berkonsep Trilogi Pembangunan. Supaya upaya yang rumit, tak kunjung ada ujungnya. Mungkin memang jalan buntu.

Barulah kemudian, dikenalkan tiga yang selanjutnya di era pemerintahan pak SBY berupa Triple Track Strategy, yang berisikan pro poor, pro job dan pro growth. Tiganya, mulai memakai bahasa inggris, sebagai tuntutan zaman yang sebenarnya melanggar konsep Tri Sakti yang ketiga, berkepribadian Indonesia, dengan potensi perdebatan sengit, jika disinggung seperti itu.

Tiganya pak SBY menginginkan pembangunan bagi si miskin, pembangunan untuk membuat pertumbuhan ekonomi dan pertambahan devisa serta untuk memperbanyak lapangan kerja. Sebuah cita cita sangat luhur yang pada akhirnya ditambahkan dengan pro enviroment agar tidak menganggu lingkungan.

Tiga yang terakhir dicanangkan oleh pak JKW dalam bentuk Revolusi Mental. Pada awalnya ada kesan pengulangan Tri Sakti yang sangat kental, tapi akhirnya didudukan dalam bentuk revolusi mental. Dan jika didalami, ternyata revolusi mental mengandung tiga aspek yaitu learn, unlearn dan relearn, tentang upaya yang wajib dihentikan, yang harus diperbaiki menjadi sempurna dan selayaknya diinisiasi baru. Ketiganya lebih populer dalam istilah Triple Loop Learning. Loop mengandung arti saling menguatkan.

Begitulah angka tiga, sangat diidolakan oleh para prediden Indonesia, mulai dari yang pertama sampai yang terakhir sekarang ini. Entahlah karena apa. Mungkin saja sebagai sebuah pertanda bahwa Indonesia akan maju jika masa jabatan presidennya dijadikan tiga periode tetapi mungkin juga karena banyak masyarakat yang sebenarnya berkeinginan agar presiden Indonesia memimpin Indonesia dalam tiga periode.

Dan untuk semua kemungkinan itu, para presidenpun, tidak akan tahu. Katenanya tulisan ini, diselesaikan disini saja.

Banjarmasin,
10092021

Terbaru

spot_img

Related Stories

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini