ANOMALI, PEMBIARAN, DAN VIGILANTE

ANOMALI, PEMBIARAN, DAN VIGILANTE

Oleh: Robensjah Sjachran

“Indeed, justice is sometimes blind but it can also see in the darkness”

SCNEWS.ID – BANJARMASIN. Saya tidak mengatakan tulisan ini sebagai refleksi permasalahan hukum di akhir tahun 2023, sebabnya jika dianggap refleksi – terlampau banyak persoalan-persoalan hukum yang hendak diungkap di ruang terbatas ini. Tulisan ini lebih kepada visi dan pengalaman pribadi yang terkait dengan persoalan hukum di tahun berjalan.

Pernah mendengar istilah “Vigilante” ? Oxford Dictionary mengartikannya sebagai anggota dari sekelompok warga negara yang melakukan penegakan hukum di komunitasnya tanpa otoritas hukum. Merriam Webster Dictionary menyebut Vigilante sebagai orang yang mengangkat dirinya sendiri sebagai pelaku keadilan. KBBI tidak mengenal apa arti kata Vigilante. Masa kini kata Vigilante ditujukan kepada seorang yang menegakkan keadilan atau hukum dengan caranya sendiri. Dahulu, di masa Romawi Kuno dikenal Vigiles, atau tepatnya Vigiles Urbani, sang Penjaga Kota Roma yang bertugas menjadi polisi dan memadamkan kebakaran.

Vigilante dipopulerkan oleh film drakor, diadaptasi dari webtoon Disney + Hotstar dengan judul sama. Vigilante dengan genre drama thriller ini di bintangi oleh Nam Joo Hyuk yang berperan sebagai Kim Ji Yong, pada siang hari sebagai mahasiswa akademi kepolisian yang berprestasi, namun malamnya dengan caranya sendiri menghukum penjahat yang divonis pengadilan tak sebanding dengan kejahatannya. Ji Yong malang melintang menghabisi penjahat versinya dengan main hakim sendiri. Pada dialog penutup serial drakor ini, Ji Yong berkata: “Hukum memang memiliki celah, tapi aku akan menutup celah itu sendiri”. Boleh jadi sutradara Choi Jeong Yeol terinspirasi film serial TV Amerika “Dark Justice” yang tayang di era tahun 1991 – 1993 di mana Hakim Nick Marshall yang merasa terpasung oleh sistem peradilan menjadi geregetan karena ia meyakini adanya tindak pidana tapi sang penjahat lolos karena ada celah hukum. Maka, Marshall berkata: “Memang, keadilan terkadang buta, namun keadilan juga bisa melihat dalam kegelapan”.

“Anomali” adalah situasi, data, fenomena, peristiwa atau tindakan yang tidak biasa terkait dengan seharusnya dianggap normal atau sebagaimana yang diharapkan. Jadi ada ketidaksesuaian atau ketidaknormalan fakta yang tidak biasa dalam hubungannya dengan apa yang diharapkan atau dianggap sebagai keadaan normal. Dalam anomali hukum, ada situasi atau peristiwa yang melibatkan pelanggaran atau penyimpangan dari aturan atau hukum yang berlaku. Situasi atau peristiwa itu dapat saja dilakukan oleh individu atau suatu entitas yang melakukan suatu perbuatan yang tidak biasa yang bertentangan dengan hukum dan tidak sesuai dengan norma yang ada.

Sementara itu “Pembiaran” dapat dikatakan sikap negatif karena dapat mengakibatkan konsekuensi yang merugikan bagi individu atau masyarakat. Di sisi lain, tindakan yang bertanggung jawab dan proaktif dianggap lebih baik dan sudah seharusnya demikian dalam banyak situasi. Kewaspadaan terhadap pembiaran dan kemauan untuk mengambil tindakan yang sesuai dapat membantu mencegah masalah atau konsekuensi yang lebih buruk. Pembiaran adalah istilah yang mengacu pada tindakan atau sikap seseorang yang membiarkan atau tidak melakukan sesuatu dalam situasi di mana mereka memiliki tanggung jawab atau kewajiban untuk bertindak. Pembiaran biasanya terkait dengan ketidakpedulian tindakan yang diperlukan atau kurangnya intervensi (yang berwenang) ketika ada kebutuhan untuk bertindak.

Lalu apa hubungannya antara anomali, pembiaran, dan vigilante ? Anomali (hukum), pembiaran, dan vigilante adalah konsep-konsep yang terkait dalam konteks hukum dan penegakan hukum. Kiranya tak terbantahkan bahwa bangsa yang maju karena tingkat kesadaran hukumnya tinggi, hal itu disebabkan karena kepatuhan warga akan hukum membuat kehidupan bermasyarakat menjadi semakin tertib (tertata dengan rapi, teratur), damai dan sejahtera. Kesadaran hukum (human legal awareness) adalah pemahaman dan pengetahuan individu tentang hak, tanggung jawab, dan kewajiban hukum yang melekat pada dirinya sebagai anggota masyarakat yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini mencakup kesadaran akan kerangka hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu di negara-negara maju umumnya hukum ditegakkan sendiri oleh anggota masyarakatnya, karena kesadaran hukum bersengkarut dengan ketaatan hukum. Sebaliknya, kesadaran hukum yang rendah akan melemahkan ketaatan hukum.

Tujuan hukum bukan hanya untuk tertib (order) saja, akan tetapi juga damai sejahtera (peace). Peraturan yang dibentuk penguasa untuk membangun negara damai dan sejahtera (peaceful and prosperous society) tidak banyak ancaman dengan sanksi kekerasan, adalah peraturan yang diidamkan masyarakat; akan tetapi sebaliknya penguasa mengharapkan adanya kesadaran dan kepatuhan hukum yang tinggi sehingga tidak perlu dengan ancaman sanksi yang menestapakan pelaku dan keluarganya, yang sedih dan terbelenggu baik jiwa dan raganya. Kesadaran hukum manusia sangat penting bagi individu untuk memandu arah perilaku masyarakat secara efektif, melindungi hak-hak mereka, dan memastikan perlakuan yang adil berdasarkan hukum. Hal ini memberdayakan masyarakat untuk membuat keputusan yang tepat, melakukan advokasi bagi diri mereka sendiri bila diperlukan, dan berkontribusi pada sistem hukum yang adil dan setara. Pendidikan hukum, kampanye kesadaran masyarakat, dan akses terhadap informasi dan layanan hukum merupakan komponen penting dalam meningkatkan kesadaran hukum manusia dalam suatu masyarakat.

Namun demikian, itulah sebabnya mengapa ada sanksi sosial, karena tidak mungkin dalam kehidupan bermasyarakat segenap individu berperilaku lurus, baik, dan jujur, taat dengan aturan. Ada saja diantaranya yang melenceng dari norma sosial yang berlaku. Di sana sini akan ada pelanggaran, bahkan ada penentangan terhadap aturan hukum yang bersanksi hukuman badan karena melakukan tindak pidana, baik yang ringan maupun yang berat. Sudah ada Perda Kota Banjarmasin yang melarang orang memberi uang atau barang dalam bentuk apapun kepada gelandangan dan pengemis (gepeng) di persimpangan jalan (traffic light), jalan protokol, pasar, tempat ibadah, taman dan jembatan serta tempat-tempat umum lainnya. Larangan itu bahkan sudah ada ancaman pidana denda Rp 100 ribu, namun tetap saja ada “warga yang baik hati” dan rela menantang kesepakatan warga kota dan wali kota, padahal dengan “kebaikan hati”nya itu tersimpan suatu perilaku tak terpuji yang ikut menyuburkan warga dan keturunannya yang disebut gepeng, yang bermental malas berusaha, mengharap belas kasihan dengan menadahkan tangan, untuk menjadi kelompok masyarakat yang mengalami disfungsi sosial. Ketika terjadi pembiaran atas pelanggaran-pelanggaran itu, maka akan menjadi kebiasaan dan pada akhirnya harapan akan ketaatan dan kesadaran hukum warga menjadi sirna.

Dalam undang-undang ada larangan: Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di jalan wajib mematuhi ketentuan: a. rambu perintah atau rambu larangan (Pasal 106 ayat 4 UU No. 22 Tahun 2009). Sekarang, siapa yang peduli dengan orang yang begitu memasuki “rambu perintah” (warna dasar biru dengan perintah warna putih) misalnya rambu petunjuk berbalik arah (mandatory direction) tapi bukannya berbalik arah, malah menentang arus untuk mendapat jalan singkat sampai ke tujuannya. Di komplek perumahan saya, juga Dr. Syaifudin, pada pertigaan jalan di tengahnya ada lingkaran pembatas yang diberi rambu tanda perintah memutar (mandatory traffics signs) berupa instruksi mengikuti arah yang ditentukan bundaran (mandatory of traffics on roundabout) oleh pengurus RT setempat; namun sayangnya tidak sedikit warga dan sopir tamu yang tak pernah mau mengikuti perintah berdasarkan rambu itu, padahal pada arah yang berlawan ada lajur untuk kendaraan berlawanan arah yang menuju sekolah dan masjid di komplek. Sudah ada pula oleh pengelola komplek ditambah rambu penghalang orang memintas tanpa melalui lingkaran, namun ada saja, entah siapa, yang menggeser rambu itu agar mudah memintas. Saya yang setiap pagi olahraga jalan pagi melintas jalan itu mengembalikannya, tapi esoknya ada lagi yang mengegesernya. Dalam kasus begini, kadang muncul niat untuk menjadi vigilante juga misalnya dengan menambah tulisan pada rambu tambahan penghalang itu “Anda Beradab ? Patuhi Rambu !”; atau yang lebih kasar, ada niatan untuk menyebarkan paku agar pelintas haram itu kapok. Tapi, astaghfirullah, itu termasuk eigenrichting, tindakan main hakim sendiri yang diancam pidana.

Fenomena anomali dan pembiaran-pembiaran sebagaimana yang digambarkan di atas memicu sebagian warga lainnya yang bersikap tak terima dan geregetan dengan situasi terkini yang kemudian memunculkan fenomena lain, yaitu vigilante tadi. Contoh terkini, di Boyolali sekelompok prajurit “kesatria” yang katanya pengayom warga negara dan alat pertanahan keamanan negara tapi malah warganya sendiri dianiaya karena terusik dengan suara “knalpot brong” telah menjadi vigilante dengan main hakim sendiri memukuli dengan mengeroyok warga Masyarakat yang ikut iring-iringan pawai pengusung salah satu pasangan capres. Tentu masih segar dalam ingatan beberapa bulan lalu terjadi amuk masa maling sapi di desa Desa Ranu Bedali, Kecamatan Ranuyoso, Lumajang. Pelaku tewas dibacok pada bagian leher, sepeda motor dibakar masa, sapi diamankan oleh pihak kepolisian. Sebelumnya, beberapa tahun lalu terjadi pula aksi vigilantisme yang dilakukan warga di Kampung Bendungan, Desa Karang Gayam, Kecamatan Blega, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur yang dengan sadis membakar hidup-hidup dua orang terduga maling sapi.

Lalu bagaimana mengatasi pembiaran hukum, anomali, dan vigilante ? Jawabnya cukup mumet: Mengatasi pembiaran hukum, anomali hukum, dan vigilante memerlukan upaya yang serius dari pemerintah, lembaga hukum, dan masyarakat secara keseluruhan. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil, yaitu: penguatan sistem hukum, pemberantasan korupsi, pendidikan dan kesadaran hukum, kepolisian yang profesional, pengawasan masyarakat, reformasi hukum, keterbukaan dan akuntabilitas, penegakan hukum yang konsisten, kesejahteraan sosial, dan keterlibatan internasional. Itu bukan jawaban dari saya, akan tetapi adalah beberapa saran yang diberikan oleh Open AI, ketika baru saja saya tanya via Chat GPT kepada web Open Artificial Intelligence (AI). Open AI adalah perusahaan riset dan penerapan AI. Misi mereka adalah memastikan bahwa kecerdasan umum buatan bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Coba bayangkan, mereka sudah memikirkan sampai sana, kita (warga dan polisi yang terlibat) masih berkutat dengan mengamankan sapi di tengah pembakaran sepeda motor bahkan terduga maling sapinya. Bens – Argo Semeru, 14 Jan 2024.

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini