LEBIH SAYANG CUCU…

Oleh : Tjipto Sumadi*

Ketika engkau terlahir ke dunia, engkau  menangis, sementara orang di sekitarmu, tersenyum untukmu. Untuk itu, berbuatlah yang terbaik, agar kelak saat engkau kembali ke haribaan-Nya, engkau tersenyum dan mereka yang engkau tinggalkan meratapi kepergianmu. Ungkapan yang bersifat longingtudinal itu mengingatkan, agar kehadiran kita di dunia ini selalu menjadi bermakna. Manusia terbaik adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya.

Generasi ke generasi terus terlahir di bumi ini, anak menjadi ayah, dan ayah menjadi kakek, lalu kakek menjadi buyut, dan buyut menjadi kumpi. Pada kesempatan ini, tulisan ini akan membahas hubungan cucu dan kakeknya. Akhir-akhir ini, banyak sahabat Mawadan 1987 yang menampilkan kedekatan bersama dengan cucunya. Fenomena ini menarik, karena lalu muncul pameo, bahwa seorang kakek lebih sayang kepada cucunya daripada kepada anaknya.

Syaifudin bersama cucu Adli & Rafa

Fenomena kakek lebih sayang kepada cucunya tercermin dari hubungan yang begitu dekat terlihat; antara kakek dan cucunya. Bahkan dalam hubungan dua insan berbeda usia yang jauh ini, begitu akrab, bersahabat, tanpa jarak, dan memancarkan kebahagiaan yang tak hingga. Ada benarnya, pernyataan bahwa kakek lebih sayang kepada cucunya, sebab hubungan antara kakek dan cucunya itu, tanpa dihadiri oleh ayah dari anak tersebut. Di sinilah terciptanya hubungan “tersembunyi” antara kakek dan cucu tanpa kehadiran seorang ayah.

Di mana sang ayah? Dalam keadaan ini, sang ayah yang tengah berada pada usia produktif, tentu amat sangat sibuk. Ayah tengah menyiapkan masa depan keluarga, membangun citra, mengambangkan karir, dan menyiapkan untuk kehadiran masa depan yang lebih baik bagi keluarganya. Sementara pada saat yang sama, sang kakek tengah mengalami declining times, yaitu masa-masa yang oleh Erik Erikson disebut sebagai era generativity, dan oleh ahli kesehatan disebut memasuki era degenerative. Era generativity adalah masa seseorang tidak lagi memikirkan kesuksesan dirinya, tetapi lebih pada berbuat baik untuk kebaikan generasi berikutnya. Sementara era degenerative adalah masa seseorang mulai digerogoti oleh penyakit yang disebabkan oleh usia yang menua. Dalam kondisi seperti inilah sang kakek menemukan “kecintaan baru”. Kecintaan baru itu ada pada kehadiran sang cucu. Di sinilah terbangunnya hubungan mutualistik penuh romantik; antara kakek dengan sejuta pengalaman, bersama cucu yang memerlukan pengetahuan dan nilai-nilai kehidupan untuk pegangan hidup kelak di sepanjang hayatnya.

 

Transformasi nilai-nilai kehidupan kakek kepada cucunya menjadi amat penting. Hubungan ini ditunjukkan dengan kedekatan antara kekek dan cucunya, sehingga orang berasumsi bahwa kakek lebih sayang kepada cucunya. Namun demikian, baik seorang ayah maupun seorang kakek, mereka hanya dapat mengarahkan apa dan bagaimana anak-cucunya melakukan sesuatu, tanpa bisa menentukan. Sebab, anakmu bukanlah dirimu. Anakmu bagaikan anak panah yang engkau lepaskan dari busurnya. Engkau tak dapat menentukan, engkau hanya bisa mengarahkan. Anakmu akan tumbuh dan berkembang bersama debu, angin, hujan, dan badai kehidupannya sendiri.

Fenomena ini, mengajak kita untuk berharap, bahwa kehidupan mendatang lebih baik dari kehidupan hari ini, kebahagiaan mendatang lebih bahagia dari hari ini, dan persaudaraan mendatang lebih bertoleransi dari yang terbangun di hari ini.

Semoga kian terbangun hubungan kakek dan cucu yang lebih hangat, sehingga kakek makin semangat dan cucu lebih bergeliat dalam menjalani kehidupannya.

 

Salam Wisdom Indonesia

 

 

*) Mahasiswa Teladan Nasional 1987

Dosen Universitas Negeri Jakarta

Terbaru

spot_img

Related Stories

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini