“MEMBUNUH” KETERIKATAN
Oleh : Syaifudin
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Sahabat ! “drama” kehidupan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang banyak di ulas dan dicerikan oleh para Khatib pada saat khutbah perayaan Idhul Adha, yang secara fakta sejarah sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an umumnya dimaknai sebagai bentuk pengorbanan “terberat” yang ditujukan kepada manusia. Terberat karena secara kemanusiaan kita semua pasti menyayangi anak, apalagi anak yang didambakan kelahirannya, maka kasih sayang itu bertambah-tambah. Siapapun kita yang pernah mempunyai anak merasakan hal itu terlebih saat anak kita tumbuh dari bayi menjadi anak-anak, maka ia bagaikan “pelita” kehidupan yang membuat kita “cerah dan bergairah” dalam hidup, dengan tingkah lakunya yang polos dan lucu telah menjadikan hidup kita terasa riang gembira, bahkan kita menitipkan kelanjutangenerasi kepadanya. Dari sinilah kemudian sadar atau tidak sadar kita sedang membangun “keterikatan” lahir dan batin kepada anak kita, yang kemudian menjadi keterikatan kekerabata.
Pda konteks kehidupan sosial, disamping mempunyai ikatan kekerabatan sedarah atau sekekaturunan, baik yang “lurus” atau “menyimpang”, kita juga mempunyai teman atau sahabat atau mitra dalam pergaulan dan memenuhi kebutuhan hidup, sehingga menciptakan ikatan-ikatan sosial berdasarkan kepentingan-kepentingan tertentu, yang membentuk sinergitas dalam menjalani kehidupan, sehingga hidup kita terasa mudah dan indah dengan banyaknya teman atau sahabat ini.
Pada sisi kebendaan, aktivitas kita tertuju pada bagaimana dengan segenap resourses yang dimiliki untuk memperoleh kebendaan itu untuk memenuhi kebutuhan hidup “layak” sesuai standar kehidupan, dari sinilah kemudian kita mampu mendapatkan rumah, kendaraan, pakaian, perhiasan dan segala asesoris kehidupan yang bersifat ekonomis. Perolehan ini menjadi sombol sosial kesuksesan hidup dalam perpektif masyarakat yang menjadikan ekonomis sebagai parameter kehidupan, sehingga dapat kita saksikan ada semacam “perlombaan” dan “kebanggaan” saat mendapatkan dan mengoleksinya.
Pada sisi kehidupan struktur sosial, kita berusaha berada pada tataran kelas atas sebagai pihak yang “berkuasa”, ada semacam dorongan atau “libido” kekuasaan politik untuk kita mencapainya sampai pada tataran yang tertinggi yang mampu diraih, karena kekuasaan juga diidentikan dengan kesuksesan hidup. Pencapaian kekuasaan selalu diiringi oleh fasiltas hidup yang melekat padanya sebagai pengejawantahan dari status sosial tersebut, sehingga gambaran-gambaran serba dilayani dan dihormati menjadi kenikmatan yang luar biasa bagi kita yang berkuasa.
Ada banyak sisi kehidupan lainnya yang kita “kejar dalam kehidupan” selain apa yang disebutkan di atas, namun intinya adalah apa yang kita inginkan, kita butuhkan, kita impikan dalam kehidupan itu yang kita usahakan sekeras mungkin, adalah gambaran eksistensi diri yang disebut kesuksesan dan dibaliknya kita mengharapkan adanya kondisi kenyamanan dan kebahagiaan hidup.
Lantas apa yang terjadi pada saat semua itu kita peroleh, maka terjadi semacam pola hubungan antara kita dengan segala perolehan itu yang kemudian menjadikan kita merasakan keterikatan yang dalam atasnya. Keterikatan inilah pada kondisi tertentu menjadikan kita sangat menyayangi dan memeliharanya agar tetap melekat pada diri kita, atau bahkan lebih meningkatkannya lagi.
Sahabat ! sampai pada level keterikatan inilah, kita diuji untuk merenungkan diri bahwa apakah segala yang kita peroleh itu hakikatnya pemeberian siapa ? dan ujian itu ada yang dalam bentuk diminta oleh Yang Maha Kuasa untuk kita lepaskan sebagian atau seluruhnya, secara sukarela atau paksaan, yang tujuannya penyadaran semua pencapaian yang membuat kita terikat itu adalah dari anugerahNya.
Mari kita capai segala keinginan dan kebutuhan itu dan mari kita “bunuh” keterikatannya, agar kita ikhlas apabila diambil olehNya.
Salam secangkir kopi seribusatu inspirasi.