“MENDAKI TANGGA KEHIDUPAN” (SERI PAHIT MANISNYA KEHIDUPAN DALAM SECANGKIR KOPI BAGIAN 7)

SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Percakapan Santi dengan Darel pagi tadi telah membekas di hati Santi, ada semacam kekuatan baru yang tumbuh dalam dirinya dalam menghadapi permasalahnnya dengan Hendra, “nutrisi” ngobrol dengan Darel telah membuka wawasan tentang hakikat kasih sayang atau asmara dalam hidup, walaupun ia tidak sepenuhnya sependapat, akan tetapi konsep memenuhi diri dan jiwanya dengan kasih sayang, kemudian belajar ikhlas dalam memberikan kasih sayang tersebut, dapat menjadi benteng diri dari kekecewaan dan “kemarahannya” pada Hendra. Keraguan dan keengganan ketemu dengan Hendra sudah tidak terlihat lagi, sekawanan anak muda, yang terdiri dari Santi, Hendra, Darel dan dua sahabatnya yang lain, Wisnu dan Andini bersiap-siap untuk melakukan pendakian ke Puncak Gunung yang diatasnya terdapat reflika perahu besar yang diberi nama “perahu Nabi Nuh”.

“Bro nanti kita sholat ashar dulu ya sebelum berangkat”, kata Darel mengingatkan teman-temannya, “siap komandan” jawab mereka serentak, “dan jangan lupa bawa mukena dan sajadah ya Andini, karena nanti kita sampai sholat magrib di atas sana”, sela Santi mengingatkan temannya yang perempuan. Tepat matahari sudah bergeser ke ufuk Barat, bayangan pepohonan ditanah sudah condong, terik matahari sudah mulai lembut, terlihatlah serombongan anak muda ini bergerak kekaki Puncak Gunung.

Gelak tawa, canda gurau, tingkah polah ke lima anak muda seolah tidak menyimpan adanya masalah dalam kehidupannya, mereka larut dalam kegembiraan, bahkan kalau dilihat dari kacamata orang yang meperhatikan perilaku mereka ini, mereka seperti layaknya “petani yang sedang pesta panen”, atau layaknya kegembiraan sedang memanen padi di Kampungnya Darel, atau kalau seperti di Negeri Perancis layaknya “pesta anggur” yang diadakan ditanah lapang saat panen raya anggur. Bernyanyi, menari, bersenda gurau, saling usil, berlari kecil, celetukan telah menenggelamkan kegundahan dan problema hidup yang mereka hadapi, melupakan sejenak  tugas-tugas perkuliahan yang selalu menumpuk dengan paper, makalah, resume buku dan sebagainya.

Secara perlahan tapi pasti mereka mulai mendaki, dengan masing-masing memegang tongkat, track ke atas yang hanya jalan setapak yang dibiarkan alami sangat menuntut kehati-hatian pendaki agar tidak tergelincir, untungnya dari tadi pagi udara cerah, sehingga jalan setapak itu tidak terlalu licin. “hati-hati jalannya” celetuk Hendra kepada Santi yang dari tadi posisi Hendra selalu dibelakang Santi, seperti siap berjaga-jaga menangkap kalau-kalau Santi tergelincir, “uhuiii apa Santi aja yang diperhatikan”, kata Andini” menggoga kedua temannya ini, “tenang aja Andini, aku siapku memapahmu kalau kamu tergelincir” celetuk Wisnu, “aku juga siap” kata Darel.  “Kalian nih tidak adil, kok kalau aku tergelincir hanya Hendra yang siap membantu, mana yang lainnya” kata Santi protes, lalu semuanya jadi tertawa.

“Ingatkan pelajaran Hukum Benda, ada yang disebut “aignaar” dan ada yang disebut “bezitter”, kalau aignar berarti benda itu sudah milik seseorang, sedangkan “bezitter” hanya menguasai tapi belum memiliki”, kata darel layaknya asisten dosen. “terus kalau begitu “Santi sudah jadi aignarnya Hendra”, sedangkan Andini bezitter kita berdua ya Darel” celetuk wisnu,  “memangnya kami ini benda” kata Andini protes.  “ya juga ya, Manusiakan subjek hukum, bukan objek hukum”, “sebjek hukum sebagai pengemban hak dan kewajiban, sementara objek hukum adalah benda yang menjadi objeknya hak” tegas Darel agak serius. “beginilah punya teman yang selalu ingat pelajaran” tawa mereka semua.

“Kita berhenti sejenak yuk di sini”, kata Andini setelah melihat ada bagian yang datar dan terdapat beberapa pohon yang lumayan besar untuk mereka dapat berteduh. “ok semuanya istirahat dulu”, sela Darel.  Sebenarnya kondisi mereka tidaklah kelelahan saat mendaki ini, karena usia yang masih sangat muda, tapi kelihatannya sambal mendaki mereka mau menikmati keindahan alam sekitar dan  santai aja, dalam artian tidak seperti lomba yang harus dikejar cepat untuk sampai ke atas.

“Darel, ini minuman air mineral”, tawar Hendra kepada Darel sambal menghampiri dan duduk dibatang kayu dekat Darel, “cape ya Darel”, “Kaga juga, cuman mengatur nafas aja” jawal Darel, “tapi kok tadi seperti melamun” tanya Hendra”, “tepatnya sambal berfikir dan merenung” jawab Darel sambal tersenyum dan meminum air mineral yang dikasihkan Hendra”. “Begini ya Hendra, pada setiap kali saya mendaki gunung, saya selalu terringat filosofi tangga kehidupan, saat kita mendaki setapak-demi setapak naik keatas, maka pada saat berada di atasnya dan memandang ke bawah, banyak hal yang harus disyukuri karena sudah sampai ditangga sekarang, oleh karena itu bagi saya bisa melangkah  naik setapak demi setapak  adalah sebagai kurnia dari Yang Kuasa yang harus disyukuri dan digembirakan, sehingga dengan demikian, semua proses tingkatan anak tangga kehidupan itu kita lalui dengan penuh syukur dan kebahagiaan, bukankah “kalau kita bersyukur, maka nikmatnya akan ditambah oleh Yang Kuasa”. Kata Darel menjelaskan.

Hendra agak terdiam  mendengarkan penjelasan Darel, dalam hatinya tersadar juga, “oh ia Hendra”, kata Darel lagi meneruskan, “memang kondisi aku sangat berbeda dengan kondisi kamu, aku memulai hidup dan berjuang dari titik nol atau bahkan dati titik minus, sedangkan kamu hidup dan berjuang dengan kondisi yang sudah lengkap tersedia fasilitas hidup, lantas karena itu sudah tersedia, lalu kamu menganggapnya sebagai hal yang biasa dan kemudian kamu “kurang pandai” mensyukurinya”.  Oleh karena itu sebagaimana yang kamu cita-citakan untuk terus kuliah sampai ke jenjang strata 3 di Luar Negeri, maka harapan dan cita-citamu itulah manakala tercapai, baru kamu akan bersyukur, sedangkan aku ini, bisa kuliah S1 satu sudah merasa beruntung dan bersyukur sekali”.

“Coba Hendra perhatikan kehidupan masyarakat di kampung sepanjang perjalanan yang kita lewati menuju tempat Wisata Alam ini” kata Darel, “seperti juga di Kampungku, kondisinya banyak anak muda seusia yang pergi ke ladang dan kesawah yang tidak bisa melanjutkan pendidikannya, karena ketiadaan biaya dan akses”.  “Oleh karena itu seperti aku yang dari kampung ini sangat bersyukur sudah bisa kuliah”. “Benar juga ya, kalau kita perhatikan kehidupan di kampung-kampung itu” kata Hendra, “makanya sering-seringlah ke Kampung agar lebih tahu kondisi objektif generasi kita” kata Darel tersenyum”.

“Ok Darel, kita lanjutkan yu perjalanan, hayoo teman-teman cukup sudah rehat dan santainya”, kata Hendra kepada teman-temannya, “siap boosss”. Rombongan anak muda inipun Kembali melanjutkan pendakiannya menuju puncak gunung, sambIl berjalan Kembali mereka membentuk formasi untuk saling menjaga kalau-kalau ada yang tergelincir dan memerlukan pertolongan, terlihat jelas Hendra selalu mendekat ke Santi yang seolah-olah dialah orang yang pertama akan menolong Santi kalau terjadi sesuatu, dihati Santi masih banyak hal yang akan ia tanyakan dan tegaskan ke Hendra untuk memulai kehidupan barunya, baik tetap bersama atau tanpa Hendra lagi… (Bersambung)

Terbaru

spot_img

Related Stories

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini