“PUNCAK KESABARAN” (SERI PAHIT MANISNYA KEHIDUPAN DALAM SECANGKIR KOPI BAGIAN 9)

SCNEWS.ID-BANJARMASIN. “Kalau kamu sekarang berada di puncak keraguan, maka aku juga merasa berada dipuncak kesabaran”, kata Santi agak emosional, menyahut keraguan Hendra.  Sosok Santi yang santun dan penyabar, ternyata pada saat dia berada dalam situasi seperti ini justeru melakukan pertahanan yang sekaligus menyerang balik kepada Hendra, hal ini diluar perkiraan Hendra, ternyata dibalik kelembutannya tersimpan “ketegasan” saat melihat sorang lelaki yang seolah tanpa prinsip dan pendirian dalam menghadapi masalah hidup tersebut.

Setelah mengucapkan kata-kata itu, ternyata Santi dalam hatinya mengucapkan istighfar, dan tersadar “apa benar ada batas kesabaran yang disebut puncak kesabaran itu ?”, atau yang istilah populernya sering disebut “kesabaran itu juga ada batasnya”. Dalam perspektif yang lebih dalam, sesungguhnya kesabaran itu tanpa mengenal batas, akan tetapi pada setiap individu manusia mempunyai keterbatasan menyandang “bobot” permasalahan yang dihadapi atau menimpa dirinya, oleh karena itulah pada saat bobot  itu sudah mencapai titik maksimal bisa yang ditoleransinya, maka sampai dititik itu pulalah relativisme batas kesabarannya.

Dengan demikian apa yang disebut sebagai batas kesabaran itu bersifat relative pada setiap orang, kalau diibaratkan bobotnya dari angka 1 sampai dengan 10, maka pergerakan titik batas kesabaran berada pada angka 1 sampai  dengan angka 10 tersebut. Dan hanya pada pribadi orang yang sangat bijaksana dalam hidupnya yang mampu dan bisa mencapat titik angka sempurna yaitu angka 10, seperti sosok pribadi seorang Rasulullah adalah contoh kesempurnaan kesabaran tanpa batas itu, bagaimana beliau bisa tetap meyuapi orang buta yang setiap hari meludahinya, bagaimana beliau dilempari dengan batu dan berdarah saat ke Kota Thaif dan bereaksi mendoakan, bukan membalasnya, sampai-sampai malaikat sendiri “tidak tahan” melihat kondisi itu dan ingin menghukum penduduk thaif asal diijinkan beliau.

Begitulah Santi merenungkannya, dan ukuran umum kesabaran manusia biasa, tidaklah sesempurna para Nabi dan Rasul, tapi apabila telah mampu sampai derajat livel 5 ke atas menahan bobot permasalahan yang menimpanya, maka hal tersebut sudah bisa dikatakan sangat penyabar, dan inilah batas kesabaran yang sering disebutkan dalam pergaulan bahwa “kesabaran itu ada batasnya”. Begitu juga realitas pribadi masing-masing individu batas kesabaranya, bisa ada diangka 2, 3 atau 4 dan seterusnya.

“Secara social aku menyadari betul adanya perbedaan di atantara kita” tegas Santi dengan suara yang sudah lembut, “karena perbedaan status social dan latar belakang kehidupan kita”, “dari awal aku juga ragu menerima cintamu”, tapi karena kamu terus berusaha meyakinkan, akhirnya aku juga menerimanya dengan tulus, dengan harapan kamu juga bisa berubah dan mengenal kehidupanku yang sangat sederhana ini”. “Bukan itu masalahnya” kata Hendra, “aku juga berubah dan terus berusaha berubah, sehingga sekat social itu bukanlah menjadi penghalang bagi kita”, “lantas apa yang terjadi pada hubungan kita sekarang? Sela Santi. “Sebagaimana yang aku katakan dari awal, permasalahannya adalah ‘ketakutan terhadap hilangnya fasilitas hidup dari Ibuku dan Adikku’,  ada semacam ketidakberdayaan dalam menghadapi dominasi Ibu di keluarga kami, bahkan ayahku sendiri juga tidak berdaya dalam menghadapi ibu”, jelas Hendra.

Setelah merenung sebentar, Santi berusaha memahami apa yang terjadi pada Hendra, yang jelas ia mulai sadar, bahwa sosok Hendra yang periang, penggoda, dan selalu tampil seolah tanpa beban hidup dengan fasilitas kehidupannya yang dipunyainya, ternyata menyimpan kelemahan sebagai seorang manusia biasa. Saat ada masalah menimpanya, maka sosok Hendra menjadi seorang peragu dan tidak punya pendirian, bahkan masih berharap orang lain memahaminya kelemahannya dan bisa menerima keadaannya tersebut.  Tentu hal ini seperti layaknya seperti sikap seorang laki-laki yang mau menang dan enaknya sendiri aja, tanpa memikirkan nasib orang lain yang dicintainya. Bahkan kehidupan sering bertutur seperti cerita orang yang mau berpoligami, dengan berbagai macam alas an dan dalil dikemukakannya, namun ujung-ujungnya adalah alasan untuk memenuhi Hasrat keinginannya egonya semata, tanpa melihat bagaimana perasaan isteri yang sudah menemaninya hidup dan berjuang Bersama dalam rumah tangga.

“Maafkan aku ya Santi, aku sangat mencintaimu tapi aku tidak tahu apa yang mesti kulakukan sekarang untuk menghadapi Ibu dengan kondisi ayah yang sakit dan menjelang pensiun tersebut”, kata Hendra memelas. Santi hanya terdiam dan menyadari betul tidak ada gunanya lagi berbicara dengan Hendra malam ini, karena dalam puncak keraguannya tersebut, iapun tidak punya pendirian dan kemampuan untuk memutuskan secara tegas, dan hanya menggantung masalah sambil berharap bisa dimengerti keadaannya tersebut.

“Begini saja ya Hendra”, kata Santi berucap dengan suara berat, akulah yang harus memutuskannya”. Hendra jadi terkejut, “memutuskan bagaimana” tanyanya ke Santi.  “Disaat kamu tidak mengambil sikap, maka akulah yang mengambil sikap dan memutuskannya”, tegas santi.  Inilah sosok Santi yang diluar dugaan Hendra, yang mengira semula dengan mengemukakan alasan yang sejujurnya terhadap kondisi yang menimpanya itu, ia berharap masih bisa menjadikan Santi sebagai kekasih ysng sekaligus di sat bersamaan membina hubungan khusus  juga dengan gadis pilihan Ibunya itu.

“Sejak pertemuan kita malam ini, antara kita berdua sudah tidak ada lagi hubungan sebagai kekasih, akan tetapi hubungan kita Kembali ke awal persis pertama kali kita berjumpa, yaitu sebagai sahabat”,  Hendra terdiam dan tidak berkata-kata lagi, “inilah putusan dan sikap yang kuambil”, “yang namanya putusan tentu ada resiko, bisa saja aku kehilangan kesempatan berjodoh denganmu atau kamu juga kehilangan kesempatan untuk mendapatkanmu”, “jadi resikonya seimbang”, “tapi kamu masih dalam posisi yang lebih baik dari aku, karena gadis lain sudah menantimu” kata Santi sambal tersenyum lirih.

Hendra tenggelam dalam keraguannya dan sekarang tenggelam lagi oleh putusan dan sikap Santi yang sesunggunya tidak diharapkannya, namun apa boleh buat hal ini adalah jalan tengah yang terbaik untuk menyelesaikan dilemma yang sekarang dihadapinya, sehingga putusan Santi ini seperti dalam suatu negosiasi sengketa kontrak yang bersepakat dalam bentuk “sepakat untuk hal-hal yang sebenarnya ia tidak sepakat”. Udara semakin dingin dengan angin yang semakin kencang, kilau kelip-kelip bintang sudah sangat jelas, Santi melirik ke Darel yang dari tadi belum bergeser dari sajadah sholatnya, perlahan diapun meninggalkan Hendra yang masih terdiam seribu bahasa, berjalan mendekati Darel….(Bersambung).

Terbaru

spot_img

Related Stories

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini