VIRTUAL REALITY
Oleh Sutarto Hadi
SCNEWS.ID – BANJARMASIN. Seandainya manusia punya beberapa nyawa, mungkin ada orang berani mati, setelah itu hidup lagi. Sensasi merasakan mati mungkin pengalaman yang tak terbayangkan, juga sangat mahal. Dan mungkin banyak orang yang bersedia membayar. Sama ketika Elon Musk meluncurkan SpaceX untuk rekreasi ke luar angkasa. Ada saja turis yg mau membayar walaupun biayanya hampir 800 miliyar rupiah. Hanya untuk merasakan sensasi, beberapa menit, berada di luar angkasa.
Nyatanya, ada orang yang pernah merasakan sensasi hampir mati. Misal ketika menghadapi situasi kritis karena kecelakaan atau bencana. Saat Alfamart Gambut tiba-tiba ambruk, beberapa orang selamat tanpa cedera sedikit pun. Orang itu merasakan sensasi hampir mati.
Bencana bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Pagi, siang, malam, bahkan saat kita sedang tidur nyenyak pada malam hari yg dingin. Seandainya kita memiliki pengalaman menghadapi situasi kritis saat bencana, mungkin banyak jiwa yang bisa diselamatkan.
Pengalaman itu bisa dihadirkan melalui virtual reality (VR). Sensasi yg dirasakan betul-betul riil. Misal, saat gunung api meletus. Anda melihat wedus gembel menyapu perkampungan penduduk, batu-batu besar berterbangan menimpa rumah Anda, dan larva panas yang mengalir dengan cepat. Sangat mengerikan, dan Anda merasakan kengerian itu dengan sangat nyata, di depan mata kepala Anda sendiri. Anda merasa malaikat maut segera mencabut nyawa Anda. Syukurnya itu hanya virtual. Setelah alat VR dilepas, Anda segera sadar bahwa masih hidup. Namun, tangan dan sekujur tubuh Anda masih bergetar, bulu kuduk masih merinding.
Saat ini VR menjadi sarana yang efektif untuk menghadirkan situasi bencana. VR sangat bagus digunakan dalam pelatihan pengelolaan risiko bencana. Melalui VR orang akan memiliki kesiapan dalam menghadapi bencana. Pada sisi lain, dalam jangka panjang, orang yang telah mengikuti pelatihan kebencanaan dengan VR akan memiliki kepedulian terhadap risiko bencana. Semakin bersahabat dengan alam. Tidak semena-mena mengeksploitasi alam. Bahkan bisa menjadi pelopor penyelamatan lingkungan.
Sebagai bagian dari Konsorsium BUiLD (Building Universities in Leading Disaster Resilience) ULM mendapat hibah peralatan VR senilai kurang lebih 500 juta rupiah. Tantangan saat ini adalah memanfaatkan secara efektif peralatan tersebut. Tim ULM harus mampu menyerap teknologi VR ini. Mengembangkan kurikulum untuk pelatihan VR.
Mengembangkan skenario bencana dengan VR ternyata tidak mudah. Diperlukan orang yang memiliki keahlian membuat filem dan animasi, pemrograman komputer, desain grafik, dll. Membuatnya sulit dan perlu waktu lama. Waktu yg diperlukan untuk membuat satu skenario di Institut Politeknik Porto (IPP), Portugal, kurang lebih 600 jam. Itu pun dikerjakan oleh tim ahli.
Harus diakui teknologi ini masih baru di ULM. Kita belum memiliki SDM yang ahli membuat filem dan animasi. Namun, kita tetap optimis. Prinsipnya, kalau orang lain bisa, kita pun harus bisa. Setidaknya ULM memiliki kawan yang memilki keahlian tersebut. Kita sudah punya nota kesepahaman dengan Universitas Amikom di Yogyakarta. Mereka salah satu PT terbaik dalam membuat filem animasi. Produk mereka, filem animasi berjudul ‘Battle of Surabaya’ sudah menembus pasar dunia dan memperoleh banyak penghargaan di festival filem internasional. Membangun sinergi adalah salah satu cara memajukan ULM.