JANGAN MENYERAH, AGAR TAK KEHILANGAN ARAH

SCNews — Memasuki awal Tahun 2021, bangsa ini kembali diuji dengan berbagai bencana yang terjadi. Di tengah masa penyesuaian kembali atas penanganan virus covid-19 yang kenaikannya masih menunjukkan fluktuasi, pemerintah kembali harus menarik rem darurat dengan menetapkan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) untuk menekan angka penyebaran virus corona di wilayah Pulau Jawa dan Bali. PPKM Jawa-Bali ini mulai berlaku pada 11 Januari sampai 25 Januari 2021. Meskipun yang diwajibkan hanya Jawa dan Bali, tapi dihimbau seluruh daerah juga menyesuaikan.

Pastinya keputusan ini, sedikit banyak mempengaruhi geliat perekonomian yang mulai membaik di akhir Tahun 2020. Sebagian sektor kembali menahan diri, dan memperbaiki strategi dalam berbagai hal. Dalam masa penyesuaian pemberlakuan PPKM ini, tiga daerah di Indonesia dilanda bencana alam yaitu banjir, tanah longsor dan gempa bumi. Daerah yang terdampak banjir berada di Kalimantan Selatan. Bencana tanah longsor terjadi di Sumedang, Jawa Barat. Sedangkan, gempa bumi mengguncang Sulawesi Barat. Sebuah ujian yang jika disikapi dengan pesimis akan cenderung untuk membuat kita terpuruk. Tetapi ketika kita paham bahwa peningkatan kualitas diri yang optimal pasti harus melalui sebuah ujian terbaiknya, seperti halnya besi yang ditempa dengan suhu sangat tinggi akan menghasilkan produk terbaik. Peselancar yang baik adalah dia yang bisa mengendalikan ombak, agar tidak tergulung. Dia akan berada di atas ombak, untuk melihat tujuan di depan, dan mempunyai perhitungan yang presisi dalam pengendalian agar bisa menjadi pemenang sampai ke tujuan akhir.

Respon setiap orang berbeda atas sebuah ujian, ada yang tenang, terbiasa berpikir cepat, ada juga yang panik, negatif dan munculnya egoisme memikirkan diri sendiri.

Apakah salah ? Tidak juga

Setiap orang punya resistensi dan kekuatan yang berbeda atas tekanan kehidupan. Tetapi saat dia berada di lingkungan sosial, sesuatu yang berlebihan atau egoisme akan menjadi salah dan masalah. Apalagi jika terjadi pada situasi bencana.

Salah satu contoh egoisme dalam situasi musibah, kita sering mendengar soal ‘panic buying’ atau membeli apa saja secara berlebihan, khususnya bahan pokok, karena tidak ingin dirinya dan keluarga menjadi kekurangan saat kondisi semakin memburuk. Sebetulnya itu insting alamiah seorang manusia. Hanya saja menjadi sangat salah jika akhirnya berlebih-lebihan dan menutup akses untuk orang lain. Di sisi lain, pada sebagian orang, bencana justru membuat semakin dekat dengan Tuhan, dan mengasah empati pada lingkungan, sehingga keinginan untuk berbagi menjadi tinggi. Berbagi tidak melulu soal harta benda, juga tidak ditentukan seberapa banyak materi yang dipunyai. Tenaga, mediasi, menjadi relawan, dll.

Pada keadaan bencana, banyak kita saksikan, para relawan dari berbagai kalangan, baik yang menyumbangkan materinya juga tenaganya, tanpa memperdulikan lagi keselamatan dirinya. Ada sesuatu yang memanggil seseorang untuk berbagi, membantu dan peduli, itu letaknya di pojok hati yang namanya nurani. Dorongan ini mengalahkan rasa takut, khawatir dan hal-hal lainnya, bahkan kadang diluar nalar, saat bisa menerjang bahaya yang mungkin dalam keadaan normal, sulit untuk bisa dilakukan. Semua itu didorong oleh sepercik ‘nur’ atau cahaya yang ditiupkan olehNYA, ini tak terbantahkan.

Dalam keadaan bencana seperti ini yang diperlukan adalah empati dan pikiran yang positif. Dengan pikiran positif, kita akan introspeksi diri, dan berkontribusi atas solusi terdekat penanganan bencana. Pada setiap kejadian, wajib hukumnya kita mencari makna yang tersirat dan tersurat. Dimulai dari introspeksi diri, dan ditelusuri lebih luas untuk menemukan akar permasalahan. Karena apa yang terjadi di muka bumi, sesuai sunatullahnya pasti ada hukum sebab akibat. Hanya saja kita perlu memahami, semua harus ditempatkan pada waktu yang tepat. Pada kondisi darurat, menentukan skala prioritas menjadi sangat penting, agar tidak ada yang terabaikan, hanya karena kita kehilangan fokus

Pada sebuah kejadian yang dikategorikan bencana, mereka yang terdampak tingkatannya pasti berbeda, dari yang ringan, sedang sampai yang paling parah. Tetapi namanya sebuah bencana, pada setiap terdampak, pasti akan terasa berat. Hanya saja, untuk mengurangi kadar keluhan, kita harus melihat kepada mereka yang terdampak lebih berat, sehingga yang ada adalah rasa bersyukur, bahwa kondisi kita lebih baik. Saat kita selalu bisa melihat seperti ini, maka akan mengurangi keluhan dan memperkecil hujatan. Bahkan cenderung mendorong kita untuk bisa membantu mereka yang lebih berat kondisinya. Disinilah empati dan kemanusiaan seseorang diuji. Walaupun tidak jarang kita dapati, egoisme muncul diantara mereka yang terdampak, berebut dan ingin menguasai bantuan serta kenyamanan hanya untuk dirinya dan orang terdekatnya. Kembali, kondisi ini menguji kualitas diri.

Munculnya relawan-relawan yang terpanggil, baik perorangan maupun kelompok, menunjukkan bangsa ini masih lekat budaya gotong royongnya. Kepada mereka yang telah bersusah payah untuk membantu, baik sebagai relawan maupun donatur, berikanlah ruang yang cukup untuk berekspresi. Soal ketulusan dan pamrih, biarlah urusannya dengan Tuhan. Yang terpenting adalah bantuan dan penanganan bisa segera menyentuh para terdampak. Publikasi bantuan kadang diperlukan, selain untuk transparansi, juga untuk menggugah mereka yang punya kelebihan tapi belum tergerak.

Bantuan dalam sebuah bencana, kadang terkendala oleh akses. Terdampak yang berada di tempat dengan akses yang sulit terjangkau, biasanya yang paling sulit untuk ditembus oleh berbagai bantuan. Tugas utama pemerintah melalui institusi terkaitlah memprioritaskan ini. Meskipun tidak jarang, bantuan masyarakat atau kelompok independen yang sudah mempunyai jaringan, bisa lebih cepat menembus keterbatasan akses ini. Pemerataan bantuan ini, pastinya memerlukan waktu, tenaga dan proses. Pada rentang itu, biasanya sangat potensi muncul hal-hal yang pro dan kontra. Jika ini terjadi, maka menyikapi dengan bijak adalah hal yang terbaik. Jangan sampai proses yang belum selesai dibesarkan dengan hal-hal yang akan memperkeruh keadaan. Tetapi melakukan ‘social control’ juga penting, dengan saling menginformasikan kondisi warga terdampak yang belum tersentuh bantuan serta mengawasi institusi yang wajib menangani dampak bencana sesuai tupoksinya. Tapi pastinya institusi resmi saja tidak cukup, partisipasi dan bantuan masyarakat akan sangat membantu agar mereka yang terdampak bisa lebih cepat tertangani. Mari kita bersama-sama melakukan gotong royong kemanusiaan.

Tampaknya Tuhan sedang memberikan pemahaman dengan sangat keras kepada umat manusia, bahwa Dia Sang Maha Kuasa. Rentetan peristiwa pandemi covid-19 dan bencana ini, mengajarkan kepada kita, bahwa gelimang materi, kekuasaan, status sosial dan jabatan tidak ada artinya diatas ketentuanNYA. Satu tahun ini kita belajar, bahwa mampu saja tidak cukup untuk kita bisa memenuhi hasrat dan keinginan kita. Kita diajarkan untuk memahami bahwa menahan diri saat kita mempunyai kemampuan adalah hal tertinggi dari pelajaran kehidupan ini. Dan bergantung kepada Tuhan adalah kebenaran yang harus diyakini

Jangan menyerah, jangan pernah kehilangan harapan.
Tetap bersyukur, berdoa dan berdzikir, semoga Tuhan segera angkat semua ujian ini, dan yang terpenting kita lulus menjadi insan yang baru, pada kehidupan normal yang baru

Sekali lagi jangan menyerah

Banjarmasin, 19 Januari 2021

Catatan Dhy Rozz

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini