HUKUM DAN PENGUASA
Oleh: Robensjah Sjachran
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Manusia zaman adalah seorang pemimpin yang berpikir dan mempunyai cita-cita serta harapan sama dengan anggota masyarakatnya; pemimpin idola yang tahu dan paham pada kehendak zamannya, demikian IBG Dharma Putra mengawali buah pikirnya “Manusia Zaman” di SCNews, 20 Juni 2022. Ini tulisan tentang karakter pemimpin di negeri kita dari masa ke masa. Sahabat saya yang sudah mendahului, Dr. dr. A.J. Djohan juga menulis dalam bukunya “Lima Pilar Kepemimpinan di Abad 21” dengan mengutip ungkapan Leroy Eims: “Pemimpin adalah orang yang melihat lebih banyak daripada yang dilihat orang lain, melihat lebih jauh daripada yang dilihat orang lain, dan melihat sebelum orang lain melihatnya”. Dalam kesempatan ini saya coba merajut hentakan keyboard laptop dan tulisan beliau itu dengan istilah sedikit garang, “penguasa”, yang dikaitkan dengan hukum, politik, dan sosial. Jadilah tulisan singkat: Hukum dan Penguasa. Tulisan ini sebenarnya rangkaian dari hasil buah pikir para ahli di bidangnya, saya cuma mengolah, meramu, dan memindahkannya saja ke sini. Maka, sebagai sebuah tanggung jawab, nama-nama para ahli saya sebut, tapi tidak mungkin menyebut detil letak di mana kutipan itu diambil, karena kalau tidak, tulisan ini menjadi skripsi atau tesis.
Dahulu di zaman penjajahan, dikenal “Pangreh Praja” (Inlandsch Bestuur), salah satu komponen struktur birokrasi pemerintahan kolonial Hindia Belanda di awal abad 20. Pangreh Praja lekat dengan konotasi negatif, personelnya yang pribumi dianggap sebagai pengkhianat karena mengabdi kepada penjajah, dan kiprahnya menindas rakyat dengan mengeksploitasi kekayaan alam demi pemerintahan kolonial yang memiliki kekuatan militer. Oleh karena itulah Pangreh Praja di mata para petani kala itu dianggap sebagai “Penguasa”. Pada awal kemerdekaan, Pangreh Praja diganti dengan istilah yang lebih soft, “Pamong Praja”. Pamong berarti pengasuh, pengurus, dan Praja berarti negeri, kota; yang secara leksikal berarti pengurus negeri atau pengurus kota. Pamong praja berasal dari bahasa Jawa, Pamong memiliki arti “ngemong” (membina/membimbing), Praja berarti negara, rakyat, kawula, daerah. Jadi, secara etimologis berarti pembimbing atau pemimpin rakyat/kawula.
Memang kedua istilah itu, Pemimpin dan Penguasa, tentu dapat diperdebatkan karena orang dapat meninjaunya dari berbagai aspek. Namun demikian kedua istilah mempunyai hakikat yang sama, sama-sama pemegang kekuasaan sembari menjalankan kewenangan yang dibelakangnya ada kekuatan. Pemimpin dan Penguasa adalah Pemegang Kekuasaan. Nah….kalau sudah masuk ke dalam wilayah kewenangan (authority; gezag), wewenang (competence; bevoegheid), tentu ini adalah masalah hak untuk memerintah orang lain yang dihubungkan dengan Kekuasaan (power) dan Kekuatan (force). Bagaimana keterkaitan hukum dengan kekuasaan dan hukum dengan kekuatan ? Begawan hukum Prof. Sudikno mengatakan hakikat kekuasaan tidak lain adalah kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya kepada pihak lain. Jadi, akar kekuasaan adalah hasrat untuk mendominasi pihak lain dan menundukkan di bawah pengaruh dan kontrolnya.
Aturan hukum diadakan sebagai konsekuensi adanya kehidupan bersama. Ubi societas ibi ius, di mana ada masyarakat, maka di situ ada aturan hukum. Sebagai makhluk sosial, manusia harus hidup berkelompok, harus bermasyarakat, karena dengan bermasyarakat kebutuhan hidupnya terpenuhi. Oleh karena itulah kelangsungan masyarakat tempatnya hidup manusia harus dipertahankan. Namun, pada sisi lain manusia harus berjuang mempertahankan kepentingan pribadinya. Manusia pada dasarnya diciptakan setara, akan tetapi tak dapat dihindarkan: memiliki perbedaan. Perbedaan itulah yang dapat menimbulkan konflik, silang sengketa, bahkan peperangan. Jadi, singkat kata, manusia dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya (modus survival) memiliki hasrat yang saling bertolak belakang, antara hasrat yang bersifat personal dan hasrat yang bersifat transpersonal; antara individualistis dan kolektivistis. Pada saat itulah diperlukan aturan hukum untuk menentukan jalan keluar ketika terjadi pelanggaran kaidah hukum, dan konflik kepentingan. Jadi, alasan pembenar keberadaan hukum (raison d’etre) tidak lain mengatasi konflik kepentingan manusia.
Akan tetapi bagaimana menciptakan aturan hukum yang akan ditaati oleh semua warga masyarakat ? Di sinilah diperlukan adanya “kekuasaan”. Hukum ada karena adanya kekuasaan yang sah. Hukum tak akan dapat berdiri tegak bila tidak ditopang kekuasaan. Kekuasaan yang sahlah yang menciptakan hukum. Semula masyarakat yang anggotanya beranjak banyak, biasanya menyerahkan pengurusan soal kepentingan kepada seseorang diantara mereka, yang untuk dan atas nama mereka diberi wewenang menetapkan dan melakukan pengurusan kepentingan bersama. Fenomena sosial yang demikian sebenarnya selaras dengan teori-teori Kontrak Sosial yang dikemukakan Thomas Hobbes, John Locke, JJ Rousseau ratusan tahun lalu, yang pada dasarnya menyatakan manusia yang hidup bersama, lalu berharap untuk dapat mengembangkan kemampuan dan bakat mereka, dengan mengorbankan kebebasan penuhnya, dan menyerahkannya kepada seseorang atau sekumpulan orang yang dipercaya untuk membuat aturan, membimbing, dan memerintah mereka demi untuk kebaikan bersama (common-wealth). Lalu, hidup bersama seperti apa yang kita inginkan ?
Terdengar “manis” mengorbankan kebebasan dan menyerahkannya kepada orang lain untuk berkuasa dan memerintah demi kebaikan bersama. Sayangnya, dan ini dibuktikan dalam sejarah panjang, pengorbanan kebebasan penuh individu dalam masyarakat itu dirampas oleh orang yang memiliki kekuatan (force) fisik, keunggulan psikologis, atau kemampuan intelektual. Tadinya penyerahan diri oleh individu dalam masyarakat secara suka rela untuk dikuasai, namun dalam perjalanannya ada kekuasaan yang dibangun berdasarkan hasrat untuk mendominasi dan menundukkan anggota masyarakat dengan cara menindas. Dalam hal demikian, mencuatlah kekuasaan dalam bentuknya yang asli, yaitu kekuasaan dengan tindakan sewenang-wenang. Dalam perjalanan sejarah, kekuasaan cenderung merangsang pemegang kekuasaan untuk lebih atau terus berkuasa. Prof. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan kekuasaan haus akan lebih banyak lagi kekuasaan. Padahal, kata sastrawan Irlandia yang hidup di abad 18, Edmund Burke, the greater the power, the more dangerous the abuse, semakin besar kekuasaannya, semakin berbahaya penyalahgunaannya. Sementara itu Bertrand Russell, filsuf & matematikawan Inggris, mengatakan bahwa jika Energi merupakan konsep dasar gerak benda-benda dalam ilmu fisika, maka konsep dasar dalam gerak ilmu sosial adalah Kekuasaan. Russell yang ketika itu mengkritik pendapat Karl Marx hendak mengatakan bahwa Kekuasaanlah (power) yang menggerakkan interaksi dan perilaku manusia, bukan Ekonomi sebagaimana dimaksud Marx.
Filsuf & matematikawan Plato jauh sebelumnya telah mengatakan bahwa orang bisa hidup sejahtera secara merata manakala manusia dapat mengendalikan nafsu keserakahannya. Bagi saya, sangat menarik memaknai hadis Jihad an-nafs yang mengatakan mujahid sejati adalah mujahid yang memerangi hawa nafsunya. Orang yang berjihad adalah orang yang memerangi hawa nafsunya. Walaupun hadis ini jalur penyampaiannya (sanad) oleh sebagian ulama dianggap lemah, namun kontennya tidak ada yang salah, karena haus kekuasaan adalah musuh besar yang sulit ditandingi. Sebenarnya, kebutuhan manusia itu tidak terlalu banyak, tetapi – menurut Aristoteles – keinginannya yang melebihi kewajaran.
Dari sekelumit telaah relasi hukum dan kekuasaan di atas, jelas bahwa konsep-konsep kekuasaan didominasi oleh pemikiran-pemikiran politik dan sosiologi. Sementara itu hukum tampaknya “hanya” lebih fokus kepada aspek hukum sebagai aturan pedoman tingkah laku dalam kehidupan masyarakat, jadi lebih terpusat kepada hal yang seharusnya dilakukan (das sollen). Pengamatan hukum sebagai realitas sosial (das sein) dalam masyarakat umumnya terpusat kepada persoalan hukum yang hidup dan pelanggaran hukum, tidak banyak menyoal hingga ketaatan kepada hukum. BEN