BERFIKIR DAN BERTINDAK DENGAN QALBU
“…Artinya secara operasional proses berfikir harus ditarik kepada medan magnet terdalam ini agar fikiran dan perbuatan tidak hanya sekedar “baik” akan tetapi juga “mulia”.
Oleh :
Syaifudin
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Berfikir adalah kegiatan manusia yang sangat fundamental, karena eksistensi manusia itu sendiri ditentukan oleh kemampuannya berfikir dan bahkan seorang filusof Rene Descartes menyebutkan “Cogitu Ergo Sum” (aku berfikir maka aku ada), yang berarti berfikirlah yang menentukan eksistensi manusia itu sendiri. Begitu juga dalam Al-Quran kita mendapat kata “afala ta’qilûn” dan “afala tatafakkarûn” yang mendrive kita untuk selalu berfikir dan memikirkan tentang kehidupan dan alam yang dianugerahkan kepada kita. Sementara disisi lain, bertindak secara umum adalah mewujudkan dalam perilaku terhadap apa-apa yang sudah difikirkan. Oleh karenan itu umumnya tindakan itu adalah wujud dari apa yang difikirkan, sehingga secara sederhana tindakan seseorang adalah hasil dari fikirannya.
Walaupun tindakan sebagai manifestasi dari fikiran, namun ada rentangan yang biasa kita polakan dalam konteks masa atau waktu antara fikiran dan tindakan tersebut. Dalam hal ini kemudian muncul istilah “reflek”, “berfikir pendek” dan “berfikir panjang” untuk menilai bagaimana jangka waktu berfikir dan tindakan itu terwujud.
Ada banyak variabel yang bisa dikualifikasi untuk menilai tindakan reflek, pendek dan panjang yang dikaitkan dengan proses berfikir tersebut. Umumnya reflek itu sebagai reaksi spontan, sedangkan berfikir pendek sudah dimulai dengan kesadaran menggunakan akal akan tetapi relatif singkat waktunya, sedangkan berfikir panjang telah benar benar menggunakan waktu yang cukup untuk berfikir tersebut.
Dari sini kemudian kita menemukan istilah yang menjadi tamsil, yaitu “berfikir pendek” untuk menggambarkan sikap orang yang ceroboh atau tergesa-gesa, dan “berfikir panjang” untuk menggambarkan sikap orang yang hati-hati dalam bertindak dan mengambil keputusan. Kedua istilah ini secara faktual tentu tidak dapat mewakili realitas yang sesungguhnya, karena ada banyak orang yang cepat berfikir dengan segera bertindak yang didasari oleh pengetahuan dan pengalamannya dibidang tertentu, sehingga seperti otomatis sudah dapat mengambil tindakan saat berhadapan dengan tugas atau masalah yang diajukan kepadanya. Dalam konteks ini “berfikir panjang” justeru menggambarkan ketidakmampuannya secara cepat mengambil sikap atau memutuskan sesuatu sebagai orang yang tidak ahli dan tidak gesit.
Proses berfikir juga bukan berada ruang yang hampa yang bebas dari berbagai macam pengaruh dalam diri manusia, karena secara holistik fikiran seseorang dipengaruhi oleh elemen-elemen yang dalam dalam diri manusia itu sendiri termasuk juga pengaruh diluar diri manusia. Dalam diri manusia itu sendiri, berfikir dipengaruhi oleh tingkat “kecerdasannya”, tingkat kesehatan atau kemampuan fisik dan jiwa atau mental atau emosional dan spritualnya. Sedangkan aspek luar dutentukan oleh pendidikannya, ekonomi sosialnya, lingkungan sosialnya, lingkungan alamnya dan seterusnya.
Dengan pendekatan holistik tersebut, maka untuk memahami perilaku atau tindakan sebagai hasil proses berfikir menjadi tidak sederhana, ada banyak faktor yang mempengaruhinya, oleh karena itu kurang bijak kalau kita hanya mengukur dengan kacamata atau cara fikir dan tindak kita saja.
Sahabat ! coba kita perhatikan dan renungkan dalam hukum kehidupan akan kita selalu temui dua kutub dari berfikir dan bertindak ini, yaitu satu kutub yang kita sebut sebagai “kebaikan” dan satu kutub lagi yang kita sebut sebagai “keburukan”, sehingga hasilnya ada fikiran dan perbuatan “baik” dan ada fikiran dan perbuatan “jahat”. Karena fikiran tidak bisa kita lihat, maka perbuatan atau tindakannya lah yang kita nilai dalam katagore baik dan buruk itu tersebut. Baik dan buruk ini bersifat normatif, yang menjadi ukuran adalah norma agama, norma hukum, etika dan moral serta kesusilaan yang berlaku pada suatu masyarakat.
Isuenya adalah bagaimana agar fikiran dan tindakan kita itu tertarik pada kutub kebaikan yang melahirkan tindakan atau perbuatan yang baik ?
Untuk keperluan hal tersebut, maka berfikir dan bertindak harus ditarik kepada hal yang lebih mendasar atau lebih dalam, yaitu medan magnet kebaikan dalam diri manusia, yaitu yang disebut “qalbu” atau “qalbun salim”. Artinya secara operasional proses berfikir harus ditarik kepada medan magnet terdalam ini agar fikiran dan perbuatan tidak hanya sekedar “baik” akan tetapi juga “mulia”.
Operasionalisasinya tentu tidak mudah menarik kepada medan terdalam “qalbun salim” ini, karena kita akan berhadapan dengan berbagai macam pertimbangan kepentingan dalam proses berfikir dan bertindak tersebut, seperti kepentingan pribadi (ego dan berbagai kenyamanan), kepentingan keluarga, kepentingan kelompok, kepentingan ekonomi, kepentingan jabatan, kepentingan kekuasaan, gengsi, dan seterusnya. Kepentingan-kepentingan ini selalu berbicara pada akal pada proses berfikir dan bertindak tersebut dengan justifikasi (pembenarannya) masing masing sehingga pada dasarnya menurut kepentingan-kepentingan itu semuanya bernilai “baik” menurut versinya.
Akibat dari pertimbangan kepentingan-kepentingan tersebut, kita sering terjebak dalam berfikir dan berperilaku “baik” menurut kita, karena ukurannya adalah untuk memuaskan kepentingan kita tersebut, sehingga kebaikan versi kita itu sesungguhnya belum tentu membawa mashlahat kepada orang lain, lingkungan dan mankluk-makhluk lainnya. Dari pemikiran inilah kita perlu meneruskan tarikan kepada Qalbu agar dipertimbangkan untuk memenuhi berbagai kepentingan-kepentingan itu harus juga membawa misi kemashlahatan berupa kemuliaan hidup yang menjadi misinya qalbu bagi semua mahkluk, yaitu berupa berfikir dan bertindak yang mulia menurut penghuni “Langit” dan penghuni “Bumi”.
Salam secangkir kopi seribu inspirasi.