CURANG ?
Oleh : Syaifudin
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Sahabat ! Pasca pencoblosan Pemilu tanggal 14 Pebruari tadi yang hasilnya secara cepat bisa kita dilihat dalam quick qount, yang secara metode “ilmiah” dapat menggambarkan siapa yang terpilih menjadi Presiden RI untuk masa bakti 2024-2029 dan Partai Politik yang berhasil mendapat dukungan rakyat sehingga wakilnya berhak duduk sebagai legislative serta para Anggota DPD RI yang berhasil menjadi sebagai “Senator”, terdapat kata yang banyak diucapkan yaitu kata “curang”. Bahkan kata curang ini sudah mulai diucapkan pada proses Kampanye dan menjelang pemungutan suara.
Istilah curang sering dipakai dalam suatu “pertandingan” yang bersifat kompetisi untuk memperebutkan kejuaraan atau peringkat yang akan mendudukan seseorang atau kelompok orang pada posisi menang atau kalah, sehingga dalam spirit suatu pertandingan adalah hak bagi yang bertanding untuk menggunakan segala cara, taktik, metode atau keahliannya untuk mengalahkan lawan tanding. Disamping itu suatu pertandingan juga melibatkan emosi dan spirit atau mental untuk berjuang secara gigih dan habis-habisan untuk mencapai Hasrat juara.
Pada saat beradu taktik, metode dan strategi serta semangat yang tinggi inilah, pihak yang bertanding dapat “bertabrakan” dalam pertandingan tersebut, seperti mengejar dan menendang bola yang berada dalam penguasaan lawan atau sama-sama mengejar bola yang bergulir terlepas, maka saat terjadi tabrakan, sikutan, tendangan ke kaki adalah sangat mungkin terjadi. Peristewa ini sering dimaknai berbeda antara pemain, pelatih, dan suporternya, sebagai suatu bentuk pelanggaran atau “kecurangan” dan bahkan putusan wasit yang memimpin pertandingan itupun juga oleh pihak tertentu dikatakan “berpihak” atau juga “curang”.
Dalam konteks seperti ini, sesuatu yang dianggap “curang” sebagai suatu penilaian bersifat subjektif, sehingga curang bagi yang pihak yang satu belum tentu curang bagi pihak lainnya, sehingga klaim kecurangan itu umumnya berada pada pihak yang “kalah”, walaupun dalam keseluruhan pertandingan terdapat juga kecurangan dari pihak yang kalah itu, namun umumnya juga tidak dipermasalahkan oleh pihak yang menang.
Makna kecurangan ini akan semakin “relative” kalau dimaknai sebagai bagian dari taktik dan strategi pertandingan, sehingga kita akan selalu menyaksikan ada yang melakukan pelanggaran dengan sengaja agar terhindar dari “kebobolan” yang menyebabkan ia akan kalah, disamping pemaknaan itu ada juga yang memaknai sebagai pelanggaran yang tidak disengaja, karena NIATNYA BUKAN MELANGGAR AKAN TETAPI KEJADIAN YANG TAK TERHINDARKAN.
Kalau dikembangkan lagi, tentu “curang” ini juga bisa terjadi yang dari awal sebelum pertandingan “niat atau tujuannya” adalah melakukan kecurangan, dan ada juga yang tidak ada niatan curang, akan tetapi saat pertandingan tergelincir pada perilaku curang. Namun kalau dipadankan dalam kehidupan manusia, adakah manusia yang terlahir untuk berbuat curang, atau dalam menjalani kehidupan ia terbawa pada arus kecurangan.
Mengingat potensi kecurangan ini akan selalu ada pada setiap orang dan dalam berbagai aspek kehidupan, akhirnya kita mesti bersepakat untuk menentukan “norma” atau “aturan” untuk bisa mengkualifikasi mana kecurangan yang harus diberi “sanksi” dan mana kecurangan yang “bisa ditoleransi”. Disamping itu agar bisa diterapkan secara relative objektif, maka norma atau aturan itu juga harus ditegakan oleh seorang “wasit” yang secara ideal tidak berpihak atau netral. Namun juga patut direnungkan “adakah orang yang benar-benar netral” sebagai manusia yang juga punya Hasrat dan dipengaruhi oleh banyak variable dalah kehidupannya.
Akhirnya kitapun akan sampai pada satu titik, berdamai dengan Hasil yang tidak sempurna, karenapun ternyata kitapun tidak sempurna. Kabar baiknya bagi orang yang terus berusaha sempurna akan mendapatkan tempat “istiqomah” dalam menuju Sang Maha Sempurna.
Salam secangkir kopi seribusatu inspirasi.