NATURALISASI DOKTER
Oleh : IBG Dharma Putra
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Memperbaiki mutu layanan kesehatan dengan naturalisasi dokter karena beranggapan bahwa majunya persepak bolaan Indonesia di kancah internasional disebabkan naturalisasi pemain, mengandung kelemahan logika tipe composition atau division. Model kedunguan yang berakibat timbulnya keraguan akan kebenaran pendapat tentang manfaat naturalisasi dokter.
Saya telah menuliskan keraguan tersebut dalam bentuk opini guyonan serius berjudul, “ senang setengah mati “, kali ini akan menuliskan proses alih kewarga negaraan, seseorang dokter, dari WNA menjadi WNI sesuai UU 12 tahun 2006, sebuah ketentuan kependudukan yang tentu saja tidak mengatur tempat praktik ataupun layanan kesehatan.
Proses naturalisasi hanya membuat seorang, boleh berpraktik di Indonesia seumur hidupnya, berbeda dengan jika masih WNA yang hanya boleh berpraktik paling lama selama 2 tahun dan dokter hasil naturalisasi, sebenar benarnya masih tetap boleh berpraktik di negara asalnya dulu, jika tetap memenuhi ketentuan negara tersebut.
Proses naturalisasi potensial menjadi cara untuk terhindar dari aturan berpraktik terbatas waktu, paling lama 2 tahun saja menjadi tanpa batas waktu, bahkan boleh sepanjang hayat. Secara logis, mereka akan tetap mau berpraktik selama diuntungkan dan siap hengkang jika dirugikan. Dilain sisi, kemanfaatan naturalisasi dokter bagi layanan kesehatan, didalam Upaya Kesehatan Masyarakat ( UKM ) maupun Upaya Kesehatan Perorangan ( UKP ) tak terlihat pasti.
UKM tidak memerlukan kehadiran dokter asing, bahkan dibanyak negara, UKM membaik karena kebijakan penempatan barefoot doctors, secara kasar diterjemahkan dokter telanjang kaki yaitu para dokter dengan pelatihan kedokteran dasar dan ditempatkan di desa. Dokter hasil latihan bukan pendidikan dengan kemampuan minimal dan sangat dasar.
Keperluan naturalisasi atau membawa dokter lulusan luar negeri ke layanan UKP pun masih harus diragukan kemanfaatannya. Keraguan menjadi lebih masuk akal jika perbedaan ilmu
pengetahuan, ketrampilan, perilaku maupun budaya kerja dokter lulusan negeri dibanding secara lebih detail walaupun agak kasar dan berbau opini, dengan aspek yang sama pada dokter WNA hasil pendidikan luar negeri.
Pengetahuan dokter pastilah sama karena akses pustaka sudah sangat terbuka bagi semua. Begitu juga halnya dengan ketrampilan, walaupun sangat naif dan sangat tak logis jika dikatakan ketrampilannya sama karena dapat dioastikan, para dokter lulusan negeri tak punya keterampilan mengoperasikan alat canggih baru yang belum dijual ke Indonesia dan masih hanya digunakan di negara produsennya. Naturalisasi tak akan membuat alat tersebut bisa kita miliki.
Potensi perbedaan, pada perikaku dan budaya kerja, ditenggarai terjadi karena tak mantapnya loyalitas dan kepatuhan pada standar. Kedua hal itu dioerbaiki dengan perbaikan sistem dan bukan naturalisasi dokter. Tanpa perbaikan sistem, dokter hasil naturalisasi akan bersikap sama dengan dokter yang ada sekarang. Konon hal yang sama terjadi pada pelancong negeri yang mendadak disiplin di LN dan pelancong manca negara yang berbuat ngawur di negara kita, Indonesia
Kesempatan perbaikan sistem, selayaknya dimanfaatkan untuk memberi sentuhan jati diri bangsa kedalamnya, sehingga ketidak patuhan bisa disirnakan tapi potensi resiensi dan agiliti yang mengalir deras di nadi setiap anak bangsa tidak hilang.
Jangan meniru mentah mentah dari luar negeri tetapi disesuaikan dengan budaya nusantara. Kepedulian pada pasien, tak mengesampingkan kepedulian pada pemberi pelayanan. Orientasi pelayanan dibuat seimbang dan harmonis pada keduanya dan diciptakan pelayanan berdaulat, mandiri, bermutu dalam kharakter nusantara. Pelayanan unik ikonik, yang tentu saja akan terasa lebih lazim untuk pasien maupun dokter indonesia.
Banjarmasin
17062024