TENGGANG RASA (SERI OPINI IBG DHARMA PUTRA)

TENGGANG RASA

“Tenggang rasa dalam keseharian merupakan sikap yang mencerminkan penghargaan serta penghormatan sosial melalui perkataan dan perbuatan. Menerima semua kenyataan yang ada serta memahami setiap kejadian disekitar kita. Sebuah karakter yang menghargai takdir kemanusiaan seperti apa adanya”.

Oleh : IBG Dharma Putra

SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Ayah saya pernah berkata, bahwa agar bisa bahagia, nikmatilah hidup seperti makan nasi campur, dikegelapan, disaat sedang lapar. Tak penting suapan yang terambil, terkadang lauk, terkadang nasi, terkadang sayur, serta tidak jarang sambelnya saja, semuanya nikmat karena sedang lapar dan pikiran dipenuhi oleh nasi campur.

Mungkin ayah saya, ingin mengingatkan saya tentang cara menikmati kehidupan ala beliau. Nikmat tidaknya, bergantung pada pikiran dan memerlukan pergeseran cara berpikir menjadi positif bahkan produktif dan kritis. Karena nya, upayakanlah untuk bangun dipagi hari serta berdoa untuk sebuah harapan bahwa hari ini, akan dilewati dengan berbagai peristiwa yang bahagia.

Selanjutnya jangan lupa untuk tulus dan ikhlas menerima setiap kejadian, berharap terbaik dan siap menerima yang terburuk, karena secara keseluruhannya, hidup itu bahagia. Artinya, semuanya akan menjadi nikmat kalau diterima sepenuh hati, dan untuk bisa begitu, harus dipunyai dada yang lapang, tangan yang selalu terbuka serta pikiran yang luas dalam bentuk tenggang rasa.

Tenggang rasa dalam keseharian merupakan sikap yang mencerminkan penghargaan serta penghormatan sosial melalui perkataan dan perbuatan. Menerima semua kenyataan yang ada serta memahami setiap kejadian disekitar kita. Sebuah karakter yang menghargai takdir kemanusiaan seperti apa adanya.

Untuk belajar tenggang rasa, pikiran saya terbang ke belahan bumi lain, ketempat para lelaki, kumpulan suami, yang istrinya sedang hamil, mengandung anak pertamanya, yang sengaja membebani perutnya, sebesar dan seberat kehamilan istrinya dan selama sehari penuh, beraktivitas biasa. Hal itu dilakukannya untuk bisa memahami dan bertenggang rasa kepada istrinya dan tentunya juga, kepada ibu hamil di masyarakatnya.

Atau bisa dilakukan dengan mendatangi dan ikut membuat lingkaran besar bersama anak anak muda, disebuah lapangan terbuka, ikut bermain “ Wild Fire “, permainan sandiwara tentang kejadian terkena HIV AIDS, pertama kalinya, sehingga bisa merasakan situasinya dan bisa memahami pergulatan kejiwaan yang dialami oleh pengidapnya dan selanjutnya bisa bertenggang rasa, setidaknya tidak ikut menstigma mereka.

Atau bisa juga dengan mengikuti program makan bersama di ruangan yang sengaja dibuat sangat gelap, sehingga tangan sendiripun tak bisa terlihat. Makan bersama dipandu oleh para teman tuna netra, dalam sebuah program yang diberi nama “ Dining In The Dark “. Sebuah program yang dirancang untuk ikut merasakan semua kesulitan yang dirasakan oleh para tuna netra, hanya dalam beberapa jam saja sehingga bisa memahami, bertenggang rasa dan selanjutnya terjalin komunikasi yang baik dengan mereka.

Sangat sulit bagi mereka untuk mempunyai tenggang rasa, sehingga harus belajar dalam berbagai program untuk mendapatkannya. Dan tenggang rasa ingin dimiliki karena mereka menyimpulkannya sebagai modal kemanusiaan yang sangat berharga serta sangat mungkin telah merasakan berbagai ketidak nyamanan karena tidak memilikinya.

Tanpa tenggang rasa, mereka bisa berkumpul dan bekerja bersama tapi susah bekerja sama. Semuanya harus diatur formal dan tentunya akan sangat kaku, tak terasa berisi sentuhan kemanusiaan disana. Tidak ada spontanitas dan jauh dari agility dan resiliensi. Sehingga wajarlah jika mereka belajar khusus tentang hal hal itu.

Dan dalam bayang kondisi seperti itu, kita selayaknya bahagia, menjadi bagian dari sebuah bangsa yang dialiri modal tenggang rasa didalam darahnya. Modal kemanusiaan, yang sudah terbiasakan sejak kecil secara turun temurun sehingga menjadi otomatis dan menjadi bagian spontanitas keseharian.

Tanpa tenggang rasa, bangsa ini, tidak akan pernah ada. Sejarah telah memberi pertanda bahwa para pemimpin bangsa, sejak dahulu kala, telah menyadari perlunya menciptakan tenggang rasa pada masyarakat pemberani yang berada di kawasan subur dengan risiko gempa dan letusan gunung berapi sehingga disebut sebagai Kominitas Cincin Api.

Komunitas Cincin Api, bukanlah komunitas ecek ecek yang homogen tetapi amat sangat heterogen dan istimewa, karena dipenuhi oleh para petarung dari berbagai kelompok dengan ciri primordialisme masing masing. Beragam karena perbedaan suku, ras, agama dan antar golongan.

Keberagaman wajib selaras dan terpadu jadi satu, bekerja sama menghadapi risiko alam yang sangat ganas sehingga bisa berujung pada kehidupan tentram dengan semua risiko yang ada, yang sekarang dikenal dengan istilah mitigasi bencana. Wajib ada kesatuan dalam persatuan yang beragam itu.

Karenanya, muncul sebuah kesadaran kolektif bahwa mereka semua, memerlukan tenggang rasa sebagai salah satu kebutuhan dasar. Sebuah kesadaran yang diperkirakan sudah lama ada, bahkan sudah lama terwujud dalam keseharian di masyarakatnya. Sejarahlah yang membuktikannya.

Mewujudnya kesadaran luhur itu, terbuktikan melalui penelusuran dokumentasi pada zaman kerajaan Majapahit. Di era Majapahit, sudah dikenal Salam Merdeka, istilah Bhinekka Tunggal Ika serta istilah Panca Sila. Mungkin inilah yang menjadi alasan, bagi sebagian masyarakat, sehingga beranggapan bahwa Panca Sila tak pernah lahir karena sudah lama diketahui keberadaannya di bumi tercinta.

Istilah Panca Sila, ditemukan dalam Buku Negara Kertagama, buah pikir Mpu Prapanca, tahun 1367 M, berupa saran agar raja selalu waspada serta teguh memegang Panca Sila, berlaku mulia, serta taat beragama. Panca Sila bukan agama tapi bersanding mesra dengannya bersama prilaku mulia.

Sedangkan Mpu Tantular, dalam Sutasoma, tahun 1384 M, menuliskannya dua kalimat dengan istilah Panca Sila yaitu berupa saran agar para pengikut vajrayana (?) memegang teguh dan tidak melupakan Panca Sila dan mewajibkan kepada semua anggota catur asrama ( semua profesi masyarakat ) untuk menjalankan Panca Sila.

Panca Sila mulai dipahami secara lebih jelas setelah diungkapkan Bung Karno, pada sidang BPUPKI, sebagai jawaban atas pertanyaan dari dr. Radjiman tentang Dasar Filsafat dari Negara Indonesia merdeka. Berisikan lima pegangan dasar bernegara dan akhirnya dirumuskan bersama, sesuai dengan yang dituangkan pada pembukaan UUD 45 pada alinea keempat.

Tenggang rasa bukan hal baru dan sudah mengalir deras didarah semua warga bangsa, yang tetap harus dijaga abadi karena sangat berharga . Keberadaannya tidak terpisahkan dari keberadaan Panca Sila di nusantara raya. Pada hakekatnya, mengingatkan bahwa hidup tidak sempurna sehingga tidak satu orangpun yang dapat semua sehingga berwajiban untuk bersiap tidak kecewa serta menerimanya.

Bagi saya, tenggang rasa lebih mudah muncul di keseharian karena sering berada di tengah orang berbeda, bahkan sejak usia menginjak 15 tahun, setelah Sekolah Menengah Pertama, saya harus melanjutkan sekolah di kabupaten lain di provinsi yang sama. Kabupaten dengan masyarakat yang berdialek sangat berbeda dengan keseharian saya.

Selanjutnya saya harus menyebrangi lautan untuk belajar ke provinsi lain dengan penghuni sangat beragam, berasal dari seluruh pelosok nusantara. Bergaul akrab dengan mereka dan mulai belajar memahami segala perbedaan.

Sayapun mulai bekerja ditempat yang jauh dari sama, dengan budaya yang tidak serupa dan saya berangsur angsur memahaminya. Mula mula terasa terpaksa tapi pada akhirnya terbiasa dan bersyukur telah mendapat suka dan cerita bersamanya.

Saya selalu berupaya agar tenggang rasa yang ada didalam darah bisa dimunculkan dalam keseharian saya. Seingat saya, ada upaya yang terasa berhasil menghadirkannya, tentunya bersifat sangat personal dan belum tentu cocok bagi semua. Saya tetap akan menuliskannya sebagai perbandingan saja.

Upaya pokoknya adalah diam, bernafas dan berpuasa. Diam, menghindari bicara sekaligus untuk belajar mendengarkan. Di awalnya terasa semua pembicaraan, hanya kebisingan tidak sempurna dan selalu mengandung kesalahan dengan berbagai ketidak sempurnaan didalamnya tetapi di waktu selanjutnya, semua omongan orang akan tersimpulkan tidak berbeda dan hanya berupa perbedaan kata yang sebenarnya serupa.

Dalam diam, saya mengatur posisi duduk dan mulai mengatur nafas dengan pelan dan ritmis sampai hati saya tenang dan menjadi lebih mudah mepahami. Dengan cara begitu, jiwa menjadi tenang dan akhirnya saya menerima semua kenyataan yang ada didepan mata.

Selanjutnya, diperlukan puasa, bukan hanya dalam bentuk tidak makan serta menahan lapar saja tetapi disertai dengan mencoba tidak berpikir, tidak bersikap dan tak bertindak berlebihan. Sesuatu yang sangat sulit, karena tampil seadanya, di zaman yang penuh pencitraan, akan bisa tampak nelangsa dan menggerus rasa percaya diri kita.

Nikmatilah persepsi mereka, yang umumnya, akan mendahulukan tampilan kaya serta amat bangga berteman dengan yang punya kuasa. Maklumi saja, serta segerakan untuk kembali diam dan mengatur nafas untuk menghindari goncangan jiwa serta menstabilkan rasa. Bahagia yang telah ada, tidak boleh terampas hanya karena ulah tingkah mereka.

Dan pada detik itu juga, kedamaian akan bisa terasa dan kita akan bahagia karena selalu bisa menerima semua kenyataan yang ada didepan mata. Mulai mengalir bersama waktu, dibawa oleh takdir illahi, kemanapun dikehendakiNya. Bertenggang rasa tidaklah harus tampil sempurna, bersikap manis serta menarik hati, karena ternyata, akan lebih baik seadanya saja.

Banjarmasin
12092021

Terbaru

spot_img

Related Stories

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini